Bab 23 • Laugh

2.8K 244 0
                                    

Dylan menghirup teh hangat yang dibuatkan Elektra dalam diam. Yang membuat teh pun ikut diam, hanya mengamati Dylan dengan iris tajamnya.

"Maaf." adalah kata pertama yang keluar dari bibir Dylan setelah keheningan lama.

Elektra memainkan bibirnya. Tidak tau harus berkata apa, atau berbuat bagaimana. "Mmm—"

"Apa kau sudah sarapan?"

Jadi, Dylan mengalihkan pembicaraan. Elektra menggeleng. "Belum. Mau—"

"Ayo, kita sarapan keluar."

Elektra menggeleng, lagi. "Aku, ekhm, akan membuatkanmu sarapan. Disini saja. Ya?"

Bukannya bagaimana, tapi 1.) Dia belum mandi, 2.) Keadaan Dylan menyedihkan, 3.) Lihat alasan 1 dan 2.

Baiklah. Intinya, Elektra tidak ingin keluar rumah—ralat, tidak ingin Dylan keluar rumah dengan keadaan seperti itu.

Hening beberapa detik, tapi akhirnya Dylan mengangguk juga. "Baiklah."

Segera, Elektra bangkit dari duduknya. Ia mengatakan sesuatu seperti 'aku akan menyiapkan sarapan dulu' pada Dylan. Tapi sebelum ia benar-benar meninggalkan Dylan, gadis itu berucap. "Ekhm. Dylan? Kau, em, mau mandi? Kurasa Grandpa punya beberapa t-shirt The Beatles, koleksinya."

Dylan tampak nimang-nimang. Elektra kembali menambahkan sebelum Dylan sempat menyetujui atau menolak, "Baiklah. Kamar mandi ada di dekat tangga. Aku akan menyiapkan bajunya."

Dengan itu, Elektra segera meninggalkan Dylan.

✖️

T-shirt milik Grandpa melekat begitu ketat di tubuh Dylan. Membuat dada bidang Dylan terlihat dengan jelas. Elektra menahan tawa sepanjang waktu sarapan mereka. Entah kenapa, melihat Dylan dengan pakaian ketat seperti itu, malah mengingatkannya dengan gay.

"Kau bisa tertawa sepuas yang kamu," Dylan berucap. Ia bukannya tidak tau lawan bicaranya itu sedari tadi menahan tawa.

Dylan sadar, ia pasti tampak konyol dengan t-shirt ketat yang dipakainya ini. Seharusnya ia memakai t-shirt lamanya saja. Yah, seandainya t-shirt kotor itu tidak tergeletak di tumpukan pakaian kotor.

Akhirnya, tawa Elektra pecah. Dylan mengamati. Tawa gadis itu, entah kenapa, mampu membuat senyum tipis terbit di bibirnya.

"Kau tampak seperti gay, tau tidak?" Elektra berkata di sela-sela tawanya.

Dylan mendengus, "Aku normal."

Tawa Elektra sudah mereda. Ia mengangguk. "Ya, ya, aku tau."

"Omong-omong, terima kasih sarapannya."

Elektra mengangguk, "Bukan masalah."

"Aku tidak tau kau bisa masak."

"Well, aku juga tidak tau aku bisa memasak."

Mendengar itu, Dylan terkekeh. Elektra menghembuskan napas, pelan. Sebenarnya, ia tidak berniat ikut campur. Dia hanya.., ugh, penasaran? "Ekhm, Dylan?"

"Hm?"

"Apa—kau baik-baik saja? Ehm, maksudku, kau beberapa hari terakhir tidak masuk sekolah, dan tiba-tiba kau berada di depan rumahku dengan keadaan.., seperti itu."

Hening. Elektra mengutuk dirinya sendiri. Ia seharusnya tidak ikut campur urusan orang lain. Apalagi, orang lain itu Dylan Antonious.

"Kau mengkhawatirkanku, eh? Aku terkesan." Dylan memberikan Elektra senyum menyebalkannya.

Melihat senyum itu lagi, Elektra mendengus. Tapi setidaknya ia tahu, Dylan sudah baik-baik saja saat ini. Iya, kan?

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang