Bab 38 • Asking

2.8K 233 0
                                    

Dylan menyodorkan segelas cokelat panas pada Elektra. Yang langsung gadis itu terima dengan cepat. Mereka berdua duduk berdampingan, dengan iris menatap pemandangan jalan yang sepi dari balkon kamar Dylan.

Hanya sekali atau dua kali mobil melewati jalanan yang diterangi sedikit lampu tersebut. Memang, tidak terlalu banyak kendaraan yang melewati kawasan rumah Dylan.

Dylan melirik Elektra melalui ekor matanya. Gadis itu tengah menghirup cokelat panas yang diberikannya.

"Ekhm," Dylan berdehem, mengiginkan perhatian Elektra.

Yang berhasil, karena Elektra segera meliriknya. "Hm?"

Dylan mengusap-usap tengkuknya. "Well, aku—"

Kata-kata yang sudah Dylan persiapkan sebelumnya serasa hilang begitu saja. Lenyap, tidak berpekas. Lagi, Dylan berdehem. "Aku..,"

Satu alis Elektra terangkat, menunggu-nunggu, apa yang ingin lawan bicaranya tersebut katakan.

"Aku, em, berterima kasih padamu," Dylan mengutuk dalam hati. "Ya. Aku ingin mengatakan itu."

Mungkin Elektra sedang sakit, atau ia tidak waras, atau ia butuh istirahat, ia sendiri tidak mengerti. Yang jelas, ada setitik rasa kecewa saat tau hanya itu yang ingin Dylan katakan.

"Honestly, aku tidak melakukan apa-apa," Elektra mencoba menepis jauh-jauh perasaan tersebut. "Tapi, yeah, bukan masalah."

Dylan memejamkan matanya sekilas. Lalu lelaki itu melirik ponselnya. Pukul sebelas malam.

"Kau akan pulang larut," Dylan menatap Elektra. "Ayo, aku antar."

Elektra mengangguk setuju. Walaupun sudah meminta izin pada Grandma dan Grandpa, Elektra tidak ingin sampai pulang pagi.

Setelah menghabiskan cokelat panas, Dylan dan Elektra segera turun ke lantai bawah.

Selama perjalanan pulang, hanya radio yang memutar beraneka ragam musik yang berbicara.

Elektra melirik Dylan, yang tengah fokus pada jalanan. "Boleh aku bertanya?"

"Hm?"

"Temanmu..,"

"Dia sudah meninggal."

Seratus untuk tebakan Elektra. "Bagaimana bisa?"

Bukan, bukannya Elektra berpikir Dylan membunuh temannya tersebut. Setelah apa yang ia lalui dengan Dylan, Elektra tidak pernah berpikir Dylan adalah seseorang yang tega membunuh.

Dylan melirik Elektra, "Kira-kira, bagaimana bisa?"

Elektra mendengus. "Aku tau kau tidak membunuhnya, Dylan."

Hening. Tidak ada jawaban dari Dylan. Elektra menggigit bibir bawahnya. Kenapa, Dylan tidak menjawab pertanyaannya?

"Aku—aku berkelahi dengannya. Kau tau, aku berkelahi seperti orang kesetanan. Dia melawan. Dia menang—jangan menatapku seperti itu, dia atlet taekwondo dan judo. Aku babak belur. Keadaan dia juga tidak jauh berbeda denganku," Dylan menghembuskan napasnya. "Setelah meninggalkanku yang sekarat, dia kecelakaan. Dan.., dia meninggal. Ditempat. Kehabisan darah."

Mendengar penuturan itu, Elektra menghembuskan napas lega.

"Itu menjelaskan kenapa kau menghilang," gumam Elektra, pelan.

Lagi, Dylan menoleh pada Elektra. "Apa?"

Elektra menggeleng. "Eum, tidak."

Kaki Dylan menginjak pedal rem, dan mobil berhenti. Elektra menatap keluar jendela, yang memperlihatkan rumah sederhana Grandpa dan Grandma-nya.

"Terima kasih, Dylan," Elektra memberikan senyum kecil. "Selamat mala—"

Sebelum Elektra sempat membuka pintu mobil, tangan Dylan menahannya.

Untung alasan yang tidak Elektra ketahui, jantungnya berdegup lebih cepat. "A–ekhm, ada apa?"

Dylan membasahi bibirnya. "Apa kau keberatan jika besok aku mengajakmu makan malam?"

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang