1. Dia adalah Canda, Gadis Tanpa Nama Belakang

40.4K 899 17
                                    

1. Dia adalah Canda, Gadis Tanpa Nama Belakang

"MARIA!" teriak seorang pria di balik pintu utama sebuah rumah. Badannya menyangga pada pintu karena tak sanggup membawa beban berat badannya. Matanya terlihat begitu sayu dan terkadang mulutnya meracau tak jelas. Lalu, tangannya terus saja mengetuk pintu itu, semakin keras, seiring tak ada sahutan dari dalam. Dia geram. "DASAR WANITA JALANG! BUKA PINTUNYA CEPAT!" teriaknya lagi.

Bukk ... bukk ... bukk ...

Ketukan pun lebih terdengar menjadi pukulan. Dari arah dapur, seorang wanita paruh baya berjalan tergopoh-gopoh mendengar pintu yang terus-menerus diketuk dengan keras. Dia sudah tahu siapa pelakunya. Lelaki yang menikahinya sejak 20 tahun lalu. Suaminya. Bahir Shiraj Addien.

Dia memutar kunci lalu membuka pintu menampilkan wajah suaminya. Dia menghela napas. suaminya kembali pulang dalam keadaan mabuk berat. Hidungnya sungguh tak kuat saat mencium betapa menyengatnya sisa-sisa alkohol yang menempel di baju suaminya. Wanita itu meringis. Ini hukuman untuknya. Dia tidak bisa menyalahkan suaminya, yang dia sayangkan kenapa minuman dan hal haram lainnya menjadi pelampiasannya? Lelaki yang dulu dia puja karena kesholihannya kini menjelma bak preman yang tak taat aturan. Pergi pagi buta dan pulang larut malam dengan keadaan mabuk.

"KEMANA SAJA KAMU HAH? DASAR JALANG! BUKA PINTU SAJA LAMA. MINGGIR!!!"

Bahkan, kata-kata romantis nan menyejukan pun tak ada lagi. Yang ada hanya umpatan dan teriakan.

Maria ─nama wanita itu─ mengikuti suaminya yang berjalan sempoyongan. Dia hendak memapahnya. Namun kembali ia urungkan niatnya itu. Tangannya yang tadi menggantung di udara hendak meraih tubuh Bahir turun begitu saja. Dia sadar diri. Dia tidak pantas untuk sekadar menyentuh suaminya. Dengan setia Maria mengikuti langkah Bahir menuju kamar mereka lebih tepatnya kamar suaminya. Karena semenjak rahasia itu terungkap, mereka tak pernah lagi tidur satu ranjang.

"Mas sebaiknya mandi dulu. Baju Mas bau alkohol dan pasti nggak nyaman tidur nya!" ujar Maria saat melihat suaminya langsung merebahkan diri di kasur. Sebisa mungkin Maria tetap melakukan tugasnya sebagai istri, mengingatkan suaminya. Ya, walaupun ia tahu hanya 0,1% suaminya akan mendengarkannya. Sekecil itu presentase Bahir menganggapnya seorang istri.

"PEDULI APA KAMU!!!" bentaknya dengan keadaan mata terpejam.

"Tapi Mas ..." belum selesai Maria menyanggah, suaminya sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang siap menerkam. Maria menunduk. Jemari tangannya memilin bajunya dengan takut. Apakah kali ini Bahir akan menghabisinya?

"KELUAR!" jari telunjuk Bahir menunjuk kearah pintu.

"Aku bilang KELUAR! Aku tak ingin ada seorang jalang di kamar ini!" Maria sudah tak tahan, sesak di hatinya tak bisa dibendung lagi. Sekuat apapun dia meredam dia tetaplah wanita, hatinya rapuh dan patah berkeping-keping. Pikirannya penuh dengan pengandaian pada masa lalu yang telah dia lukiskan. Bibirnya bergetar dan keluarlah suara isak tangis seiring dengan air matanya yang berlomba-lomba menetes. Dia lelah. Setiap hari mereka tak lepas beradu argumen yang berujung fisiknya yang sakit.

Bahir sering menampar bahkan memukulnya dengan sapu. Tapi dia bisa apa selain diam. Jika sebagian orang berkata bahwa ini adalah karma, dia lebih mempercayai bahwa apa yang terjadi padanya sekarang adalah hukum sebab-akibat sesuai dengan firman Allah dalam Al-qur'an. Perilaku suaminya sekarang merupakan akibat dari apa yang disebabkan olehnya dahulu. Menyesal? Percuma saja untuk disesali, nasi sudah menjadi bubur dan mau tak mau dia harus memakannya, jika ingin enak maka tambahkan saja kerupuk, bawang goreng, seledri, kecap dan suwiran ayam.

"Dasar cengeng ... percuma saja kamu nangis, aku tak kasihan melihatmu ha... ha...ha...." Bahir tertawa sinis pada Maria.

Maria mencoba menegakkan kepalanya. "Aku tahu aku hina. Aku tahu telah melakukan kesalahan yang besar. Tapi tak adakah maaf bagiku, Mas? Tak peduli kah kamu dengan perasaan anakmu yang selalu kau acuhkan, hah?!" Maria balas menatap Bahir tak kalah tajamnya membuat kemarahan Bahir naik keubun-ubun.

"Aku jijik denganmu! Kau benar, kau itu hina! Aku menyesal menikahimu! Dan ... apa tadi kau bilang? Anak sialan itu? Urus saja olehmu. KELUAR! sekarang KELUAR DARI KAMAR INI!" jari telunjuk Bahir menunjuk pintu meminta Maria agar segera keluar.

Hati Maria teriris mendengar suaminya sampai saat ini tak mengakui putri mereka, Canda. Dua puluh tahun sudah mereka bersama dan hanya lima tahun mereka hidup bahagia setelah itu suaminya berubah menjadi bahir 'si pemabuk dan pemain wanita'. Dan yang paling membuat hatinya sakit, suaminya itu tak pernah menganggap Canda ada di antara mereka bahkan sejak dalam kandungan.

Anakku sayang, anakku malang. Batinnya.

Canda. Dia telah berubah menjadi gadis dewasa muda yang cantik. Wajahnya begitu mirip dengan Maria, jika dilihat sekilas mereka seakan pinang di belah dua. Kedewasaan telah tertanam di dirinya sejak taman kanak-kanak, bisa dibilang dia dewasa sebelum waktunya karena keadaan yang membuatnya begitu. Sejak kecil dia tahu bahwa ibu dan ayahnya tak baik-baik saja, berulang kali Canda melihat orangtuanya bertengkar. Ibunya menangis dan ayahnya berteriak-teriak dengan bahasa yang kotor. Dia benci ayahnya. Ayahnya yang selalu membuat ibunya menangis.

Segala hal dalam hidupnya dia upayakan sendiri. Pergi ke sekolah TK saat penghujung awal orangtuanya bertengkar dengan sendiri karena ibunya yang harus banting-tulang di sebuah garmen ─perusahaan tekstil, tidak pernah ikut belajar mengaji di mesjid karena tak ada yang mengarahkannya, semua mengenai agama hanya dipelajari di sekolah dengan keterbatasan waktu sehingga tak membuat Canda memiliki ilmu agama yang mumpuni. Setiap mengerjakan tugas sekolah Canda harus berusaha sendiri dan jika ibunya lupa menyiapkan makanan dia akan menggoreng telur di kulkas atau membuat nasi goreng ala kadarnya dan mie instan yang ada. Ketika ibunya pulang dan bertanya makan apa, Canda akan bilang dia membeli lauk di warung padahal uang yang diberi diambil semua oleh ayahnya. Jika setiap anak berkata, if fathers are one of the most influential role models for their children. Obviously, that isn't her father! If a daughter expects her husband to be like her father, and obviously, Caca doesn't want to. Her father isn't a figure that should be loved! Itu bukan ayahnya! Bukan!

Sekarang pun, Canda bersembunyi di balik pintu. Entah untuk ke berapa ribu kalinya ia melihat ibunya menangis, dia muak kepada ayahnya. Rasa benci semakin terpupuk subur di hatinya. Dia juga kesal kenapa ayahnya itu tak mau mengakuinya. Kenapa? Ada apa sebenarnya? Dan kenapa ibunya disebut-sebut sebagai jalang? Pertanyaan itu menggerogoti pikirannya.

Derap langkah kaki terdengar mendekat kearah pintu. Sepertinya, ibunya akan keluar karena sudah tak tahan di dalam. Segera Canda kembali ke kamarnya. Dia stress setiap malam harus mendengar Dan menyaksikan sinetron yang diperankan ayah-ibunya. Hanya ada satu solusi untuknya. Pergi ke kelab.

***

Assalamu'alaikum Teman-teman,

mulai hari ini aku unpublish cerita Canda dan akan aku repost ulang setiap harinya. Menurut  kalian enaknya setiap hari aku repost berapa part?

But, sebelum itu aku akan repost ketika vote kalian udah nyampe 500 vote ya wkwkwk biar aku semangat respostnya :D

Berhubung aku sudah selesai revisi  di beberapa bagian. Jadi naskah udah ready buat publish. kalian juga bakal lebih enak bacanya ketimbang yang kemarin karena banyak bagian-bagian yang delete dan tambahin.

So, maaf untuk ketidaksenangan ini buat teman-teman yang lagi baca tapi aku unpublish huhuhu....

Selamat puasa semuanya,

Keep healthy,

dan salam bahagia dari Canda.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang