35. Hati yang Terluka

7.5K 364 20
                                    

35. Hati yang Terluka

----------

Caca menatap kosong seseorang yang baru saja membuka pintu kamar rawat inapnya. Dia takut orang itu akan kecewa. Dia takut akan kehilangan seseorang yang menjadi candu untuk selalu berada didekatnya. Seseorang itu mengatur napasnya setelah berlari dari mulai turun dari mobil sampai ruangan tempat istrinya di rawat.

Ammar mendekati Caca perlahan. Menatap sendu ke arahnya. Bahkan, untuk berjalan saja nyaris dia tidak sanggup karena begitu lemas dengan kenyataan yang baru saja menimpa mereka. Hal ini yang sangat dia takuti. Dia tidak masalah jika terluka. Dia laki-laki. Dia kuat. Tetapi, istrinya, sudah cukup untuk terluka.

Semakin dekat dengan brankar, mata berkaca-kaca Caca mulai terlihat, tangannya membungkam isak tangis yang sebentar lagi akan keluar. Dia hanya bisa menggumamkan kata maaf terus menerus sampai hati Ammar merasa ditusuk-tusuk, begitu sakit.

Kenapa kehadirannya hanya bisa membuat orang-orang yang dia sayangi terluka? Sesudah Kina kini istrinya. Nanti akan siapa lagi? Umi? Abi? Keluarganya?

"Mas ...." Lirih Caca.

Segera Ammar merengkuh tubuh yang menyandar pada brangkar itu. Memeluknya erat. Menyalurkan penyesalan sekaligus menguatkannya. Semua yang ada di dunia ini milik Allah dan akan kembali kepadanya. Entah itu kapan. Jodoh, maut dan rezeki Allah sudah mengaturnya. Hal ini yang terbaik untuk mereka berdua. Mengikhlaskan calon anak mereka untuk kembali lebih dulu dan menunggu Umi dan Abi nya untuk bersama di surga nanti. Itu akan menjadi tabungan mereka berdua.

"Ikhlas. Ikhlas, sayang!"

"Anak kita, Mas ..."

"Ikhlas ya,"

Raungan Caca semakin kencang. Air matanya sudah banyak keluar membasahi baju Ammar. Keheningan ruangan itu menambah kesakitan Ammar karena isak kesedihan istrinya begitu terdengar menyayat hatinya. Suami mana yang tahan melihat istrinya begitu terpuruk akan kesedihan ditinggal calon anak yang sudah didamba-dambakan. Ammar ikut meneteskan air matanya namun segera dia usap dengan kasar. Sebagai seorang suami dia harus tegar. Sesedih apapun.

"Ini yang terbaik buat kita. Ikhlaskan jangan menyesali takdir Allah."

"Allah jahat!"

Caca meronta di dada Ammar. Dia memukul berkali-kali meskipun tidak keras namun membuat Ammar kewalahan.

"Dia udah ambil anakku. Dia jahat. Kenapa? Kenapa harus aku? Apa aku gak boleh untuk bahagia? Mas, katakan! Katakan!"

Ammar mengambil kedua tangan itu dan dikecupnya. Untuk kali ini dia biarkan air matanya menetes mengenai tangan pucat istrinya.

"Mas juga sedih. Bukan hanya kamu. Mas, juga merasa kehilangan, Caca. Kamu jangan egois seolah-olah hanya kamu. Kamu gak bisa menyalahkan Allah, ingat ini udah skenario-Nya. Mungkin kita belum siap untuk menjadi orangtua maka itu dia mengambilnya kembali. Jangan sedih lagi. Mas juga sedih. Kamu begini malah menyakiti, Mas." Keduanya sama-sama diam dan terisak. "Ini salah, Mas! Mas, sudah lalai! Maaf! Maafkan, Mas!" Ammar kembali mengecup tangannya dan membenamkan wajahnya di sana.

"Maaf!"

"Mas sudah darimana? Jawab aku?!"

Ammar terpaku. Dia bingung harus menjawab apa. Mata itu menuntut jawabannya dan Ammar terisak kembali meruntuki betapa bodohnya dia telah melalaikan janjinya untuk menjemput istrinya sendiri. Jika saja itu tidak terjadi, mungkin dia dapat meminimalisir efeknya. Tapi, Kina? Perempuan itu juga membutuhkannya.

Ammar menjambak rambutnya dan hanya bisa menggumamkan maaf berkali-kali tanpa menjawab hal sebenarnya. Dan saat itu, pintu terbuka menampilkan sosok Jian. Perempuan itu masuk begitu saja dan menggelengkan kepalanya melihat Ammar yang begitu frustasi.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang