18. Wanita dan Hatinya

9.3K 480 7
                                    

18. Wanita dan Hatinya

***

Canda menyuguhkan segelas teh hangat dan setoples makanan ringan kepada Asti. Beruntung di warung tadi Caca menyelipkan sedikit camilan di antara kebutuhan lainnya. Sehingga ada makanan yang bisa disuguhkan untuk tamunya. Orang yang juga berjasa dalam proses hijrahnya. Orang pertama yang menyadarkannya betapa pentingnya berdo'a dan Allah yang akan mengijabah do'a siapa saja yang mau berdo'a dan juga pertama kali memakaikannya kerudung. Ia senang dapat bertemu lagi dengan Asti.

"Kamu kok repot-repot sih, Ca."

"Nggak repot kok Mbak, bukannya sudah seharusnya kita memuliakan tamu," jawab Canda sambil menyunggingkan senyumnya. Asti terkesima melihat perubahan pesat dari perempuan di sampingnya. "Kamu banyak berubah ya, Barakallah, Mbak senang lihatnya." Senyum Merekah muncul dari bibir Asti dan perkataannya membuat Canda tersipu dipuji sedemikian. Dalam hati ia mengucap Hamdallah sebagai rasa syukurnya.

"Alhamdulillah, Mbak, aku masih dikasih kesempatan untuk memperbaiki diri. Mas Ammar dan keluarganya begitu sangat membantu proses yang aku lalui. Mbak pasti tahu, betapa susahnya untuk istiqomah di jalan-Nya."

Asti tiba-tiba menggenggam tangan Canda, "Ammar udah nikah ya? Yah, Mbak kira dia bakal nikah sama kamu." Ada raut tidak rela dari Asti.

Canda terdiam karena terlalu bingung untuk menjawab pernyataan beberapa orang yang tidak merelakan Ammar menikah dengan Zahra.

Nayla, Mbak Asti, dan juga Fatimah —yang akhirnya mengetahui keadaan di antara Caca dan Ammar. Mereka mengharapkan Canda sedangkan keadaan menyatakan Zahra.

Canda memalingkan wajahnya tak mau menyimpan harap lagi. Dia tidak mau perjuangan untuk menyimpan Ammar di kedalaman hatinya selama setahun berakhir sia-sia dan kembali membuat hatinya kotor karena mengharapkan suami wanita lain.

"Mungkin bukan jodohnya ya ... " Asti tersenyum mencoba membuat suasana kembali baik-baik saja tidak ada kecanggungan. "Kamu kok bisa di sini?"

"Ingin mandiri, Mbak. Sudah cukup setahun ini bergantung sama keluarga Mas Ammar. Jadi ya akhirnya ngontrak di sini. Kalau Mbak, bukannya di Jakarta ya?!"

"Mas Andri di mutasi lagi dan Alhamdulillahnya ke kampung halaman. Jadi bisa kumpul bareng keluarga, kasian Ibu juga udah tua tinggal sendirian. Kamu tahu nggak, rumah ibunya Mas yang di depan kamu. Yang coklat itu. Kalau yang tetanggaan sama pesantren Ammar itu ibunya Mbak. Kita seringnya di sana."

"Eh, yang di depan itu Mbak?"

"Iya. Kalau weekend biasanya menginap di sini. Kamu sering-sering main ke rumah ya. Nanti main juga ke rumah Mbak yang di sana. Mbak mau kenalin ke ibu. ibu itu dulunya suka ngasuh Ammar waktu bayi, lho. Kalo kamu pengen tahu Ammar lebih, kamu tanya deh ke ibu." Asti berbicara begitu asyik tanpa tahu kalau Canda sudah merapal do'a agar hatinya tetap teguh. Tidak perlu lagi ia mengetahui lebih dalam tentang suami orang.

Allah, ternyata berat menghapus bayangnya.

***

Canda : Assalamu'alaikum, Mas Adjie. Bisa minta tolong nggak?

Adjie : Wa'alaikumsalam, sholehah. Mas Adjie selalu siap diminta bantuan kamu.

Canda memegang pipinya yang terasa panas. Adjie, rekan editor, atau bisa dibilang editor pertama, selalu bisa melambungkan hatinya. Sifatnya yang lembut kepada perempuan membuat siapapun itu perempuannya seakan dipuja dan dihormati. Pertama mengenalnya ia mengira Adjie pria flamboyan namun Adjie bilang itu caranya untuk memuliakan seorang perempuan yang da dikenalnya.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang