38. Selesai

10.3K 388 36
                                    

38. Selesai

-------

Bagaimana aku bisa hidup tanpamu, Mas?

Melihatmu dengan wanita lain

Saling bermesraan

Melempar senyum kebahagian

Kalian berbahagia

Dengan penyatuan kalian

Sedangkan aku berduka melihatnya

Bohong, jika aku ikhlas

Aku pembohong, Mas!

Semua yang ku katakan bohong!

Caca menyeka air matanya. Air itu menetes di atas gelaran sajadah. Baru beberapa saat lalu, dia selesai menunaikan sholat Maghrib.
Sengaja berlama-lama tidak beranjak, ingin mengadukan segala hal kepada-Nya. Tentang risaunya hati yang tak berkesudahan, munafik sekali dirinya telah berkata ikhlas namun ternyata tak secuil pun keikhlasan tertanam.

Allah, maafkan aku.

Baru beberapa hari saja berpisah, terasa begitu beratnya. Waktupun seolah berkompromi, seakan hari lama berganti. Gunjingan-gunjingan dari tetangga sekitar yang tak menyukainya mulai terdengar. Entah, mereka dapat menyimpulkan darimana, mereka berspekulasi diri bahwa dia adalah seorang janda yang diceraikan suaminya. Tetangga dengan segala pendapatnya memang paket lengkap. Mencari-cari titik kesalahan bahkan titik terkecil pun mengalahkan bakteri mereka ulik. Kedatangan Rei menjadi santapan hangat mereka. Semakin menerka seberapa buruknya ia sebagai perempuan. Mereka anggap penampilannya hanya untuk berkamuflase. Allah...

Caca bersujud. Memohon ampun. Memohon untuk disatukan kembali dengan suami yang amat dia cintai dan butuhkan. Tetesan air matanya menjadi saksi bahwa dia sangat menyesal telah gegabah.

Waktu-waktu seperti ini, menjadi moment yang tepat untuk merasakan betapa ngilunya penyesalan itu bersemayam bak Kristal ca-oksalat dalam sendi yang begitu menyakitkan. Bergerak sedikitpun sakit, sama halnya Caca, tak sengaja melihat foto mereka berdua dalam dompet saat hendak mengambil uang saja terasa hatinya tertusuk-tusuk dengan tikaman penyesalannya, hendak sholat pun dia terasa kosong bahkan hampir kelupaan karena melamun, dia mengingat Ammar yang setia mengimaminya ketika tidak berjamaah di mesjid. Itu semua menyakitkan untuk diingat.

Caca tak mengusap air matanya. Dia menegakkan tubuhnya kembali.
Kemudian menutup wajahnya dan terisak.

"Mas aku butuh kamu..."

"Aku munafik, Mas! Aku tak ikhlas secuil pun kamu bersamanya. Maafkan aku, Mas, ku mohon!!"

Di lain posisi, Rei menatap kesal pria di hadapannya yang masih bingung antara beranjak masuk ke rumah itu atau menunggu pada waktu yang tepat? Membuat dia gemas sendiri.

"Nunggu apalagi si? Mau masuk ya masuk aja. Gue juga udah bilang ke orang yang punya kontrakan."

"Gue takut Caca ngehindar dan masalah makin runyam, gak mudah Rei buat gue datang begitu aja ke hadapan dia. Mungkin gue-"

"Ah basi lo!"

Rei membukakan pintu dengan kunci cadangan dari pemilik rumah kontrakan. Dengan susah payah dia mendapatkan itu untung saja si pemilik begitu baik. Semua itu karena dia ingin nembuat kejutan untuk Caca agar tak bersedih lagi. Rei sangat tahu betapa menyesal Caca akan keputusannya itu.

"Lo masuk dan kasih kejutan buat dia. Gue harap kalian bisa baik-baik lagi. Gue udah percayakan adik gue buat lo. Tolong, bahagiakan dia."

Ammar menepuk bahu Rei dan mengucap terima kasih sebelum dia beranjak masuk.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang