30. Bersinggungan Dengan Masa Lalu

9.1K 369 9
                                    

30. Bersinggungan Dengan Masa Lalu

-------

Ammar menepati janjinya untuk pergi makan bakso di depan universitas. Jalanan siang hari menuju sore itu cukup lenggang karena jam makan siang telah usai. Mereka sedang berkutat dengan pekerjaannya masing-masing sebelum pulang ketika petang nanti sekitar pukul lima.

Masih dengan kemanjaannya yang akhir-akhir ini melanda bumil baru itu, lengan Ammar menjadi sering digelayuti istrinya. Dengan nyaman, Caca menyenderkan kepalanya pada lengan itu. Tak peduli jika suaminya tengah menyetir. Beruntung saja mobilnya itu matic sehingga tidak repot untuk mengemudikannya.

Ammar mengusap gemas puncak kepala istrinya saat mobil berhenti di lampu merah. Dia mengecupnya dengan sayang dan membenarkan tatanan jilbabnya yang sedikit tak rapi.

Caca kesenangan, dia membenamkan wajahnya di lengan kokoh Ammar.

"Mas, berasa lagi bawa anak lima tahun ketimbang istri," candanya yang menabur gelak tawa Caca.

"Om Ammar?" dengan sengaja Caca menggoda suaminya. Menaik-turunkan alisnya dan mengulum senyum karena tahu sebentar lagi suaminya akan mencak-mencak dipanggil seperti itu.

Dengan gemas, Ammar menguyel kedua pipi istrinya yang sudah nampak chubby. Traffic light sudah kembali, Ammar mengendarai mobil dengan Caca yang cemberut setelah mengeluh pipinya kesakitan. Ammar tentu saja tidak percaya dan memilih mendiamkannya, orang dia dengan sayang plus cinta kok nguyel-nguyelnya mana mungkin sakit, bukan?

"Dek, Abi nggak sayang Umi..." Lirihnya sambil mengelus perut ratanya. Usianya baru memasuki satu bulan lebih beberapa hari menuju dua bulan.

"Jangan dengerin, Umi, Abi sayang kalian. Semoga Allah melindungi kalian." Jawabnya disertai do'a.

"Aamiin, Abi, kata Umi, Umi pake banget sayangnya ditambah cinta juga." Setelahnya Caca terkikik, geli sendiri dengan menganasnamakan calon anaknya yang masih dalam kandungan.

Ammar melengkungkan senyumnya, menyimpan tangannya di atas Caca yang tengah merasakan keadaan bayinya. Mengelus tangan itu dengan lembut seakan sentuhan sedikit apapun takut menyakitinya.

"Ana uhibbuki Fillah, Umi, istrinya Mas yang insyaallah Sholehah,"

Canda meleleh rasanya ditatap dengan penuh cinta seperti itu. Walaupun sebentar tetapi efeknya sungguh luar biasa.

"Ahabbakalladzi ahbabtanilahu, Abi."

Ammar tersenyum dan kembali mengemudikan mobilnya dengan kedua tangan. Dia merasa masih menjadi pengantin baru. Perasaannya masih sama menggebunya ketika awal pertama kali menyentuh dan mendengarkan untaian cinta dalam ikatan yang halal. Padahal, banyak orang berkata bahwa semakin bertambah usia pernikahan, semakin menipis perasaannya, hanya ada rasa tanggung jawab karena telah berjanji pada Rabb-Nya. Ammar tidak termasuk orang-orang tersebut. Sampai kapanpun dia yakin perasaannya akan tetap sama.

Begitupun dengan Caca, dia merasa selalu berbunga-bunga ketika Ammar begitu menyanjungnya dan menggumamkan kata-kata cinta itu. Dia selalu merasa diinginkan dan dimiliki oleh pria itu. Pria yang telah begitu legowo telah menerimanya yang bukan siapa-siapa itu. Yang dengan rendah hatinya, mau membawanya ke arah lebih baik. Allah telah begitu baik mengirimkan pria itu ke dalam kehidupannya.

Mobil berhenti di samping gerobak bakso yang diinginkan Caca. Karena siang, tenda yang sengaja disediakan oleh pedagangnya penuh terisi. Pun juga dengan tenda pada pedagang minuman. Rata-rata mereka adalah mahasiswa dari Universitas tersebut yang sekadar singgah untuk mengisi perut dan dahaga sebelum atau sesudah mata kuliah.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang