28. Sebuah Nyawa Baru

10.2K 394 6
                                    

28. Sebuah Nyawa Baru

--------

Semua orang panik melihat Caca yang terus muntah di kamar mandi. Ammar memijat tengkuknya dengan telaten tanpa risih sama sekali.

Caca memegang perutnya yang terasa begitu melilit. Tubuhnya lemah seakan sebentar lagi akan ambruk jika Ammar tak memeluknya dari belakang.

"Mas..." Lirihnya.

"Pusing? Masih mual?" Ammar membenarkan jilbab Caca yang hampir menjuntai mengenai wastafel yang berisi muntahannya.

"Lemes."

"Yaudah, aku gendong, ya? Kamu istirahat di kamar nanti aku periksa kamu."

Tanpa aba-aba menggendong ala bridal style istrinya keluar dari kamar mandi. Maria menatap khawatir anaknya. Dia takut itu karenanya, dia sudah meminta bantuan Caca untuk memasak yang sangat banyak. Apalagi tadi mereka belanja tidak sebentar dengan mengelilingi segala penjuru swalayan.

"Ya Allah, nak, kamu kenapa?"

Hani menenangkan Maria dengan merangkulnya. "Gapapa, Mbak, pasti kecapekan aja. Ayo, kita buat teh hangat, Mbak."

Dengan itu, Hani membawa Maria ke dapur untuk menyiapkan teh hangat. Sedangkan yang pria dan Avira menuju kamar Caca. Mereka melupakan makan malam yang sedang berlangsung tadi dan rasanya sudah tak berselera untuk menikmatinya. Mereka khawatir dengan keadaan Caca.

***

Ammar menarik selimut menutupi sebagian badan istrinya. Caca pasrah saja karena rasanya sudah tak ada tenaga untuk menyelimuti dirinya sendiri atau bahkan meminta tidak menggunakan selimut.

Sebuah tas di lemari yang biasa Ammar bawa ke rumah sakit, yang berisi peralatan umum bekerjanya, sudah teronggok di sebelah Caca. Sedangkan, Ammar yang membawanya itu sedang bersiap untuk memeriksa istrinya.

Dengan perlahan dia membuka hal yang menghalangi di diri Caca seperti jilbabnya dan juga kancing baju teratasnya. Dengan pelan dia membuka kancing itu menyisakan celah kecil yang cukup untuk memeriksa detak jantung Caca dengan stetoskop. Beralih mengecek nadinya di pergelangan tangan dan menghitungnya per sekian menit. Setelah itu menuju perutnya. Menekannya kecil. Dia kira Caca akan kesakitan, tetapi tidak.

Keningnya berkerut.

"Kamu siang, makan nggak?"

Caca mengangguk.

"Caca makan banyak tadi, pas jalan sama Mama belanja juga dia makan lagi. Makan soto, bakso sama batagor." Maria datang dan meletakkan tehnya di nakas. Ammar mengangguk paham.

"Caca ini gapapa kan, Mar?" tanya Hani.

"Gapapa." Balasnya.

"Haid kamu tanggal 15 kan?" Ammar kembali mengoreksi informasi. Kening Caca berkerut lalu mengangguk. "Iya, Mas." Matanya masih terpejam menahan sensasi pusing dan mual.

Bukan hal tidak wajar jika Ammar tahu siklus bulanan istrinya. Itu hal yang harus diketahui oleh setiap suami karena menyangkut hak batinnya yang akan berujung menyiksa jika tidak bisa disalurkan.

"Dugaan Mas benar," putusnya.

"Bentar, bentar ... Besan! Sekarang tanggal berapa?" Maria baru ingat sesuatu.

Wirdan di belakangnya menjawab setelah melihat ponsel. "30."

Semua mata baru melotot baru menyadari sesuatu hal.

"Yes! Akhirnya jadi Tante juga!" pekik Nayla.

"Besan, akhirnya, ya, jadi nenek juga!" Hani memeluk Maria gembira.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang