Aku, kamu dan Covid-19

5.6K 240 10
                                    

Ini tahun kelima mereka membina rumah tangga. Setelah menghadapi banyak permasalahan yang silih berganti menghantam kekuatan cinta mereka. Ammar dan Canda membuktikan bahwa selain atas izin Allah SWT, mereka masih akan tetap bersama. Apapun itu permasalahannya.

Suasana pesantren masih tetap sama: menenangkan sekaligus ramai. Hanya rutinitas Canda semakin padat karena bukan hanya sekadar ibu rumah tangga. Setiap dzuhur ia akan mengajar bahasa indonesia di kelas 7, 8 dan 9 putri secara terjadwal. Setelah itu kembali ke rumah yang baru selesai dibangun beberapa bulan lalu —yang masih sama di dalam lingkungan pesantren, berdekatan dengan rumah orangtua Ammar.

Hal itu disarankan oleh Umi dan Abi. Meskipun, mereka senang rumah semakin ramai namun tidak baik selamanya tinggal bersama orangtua. Setiap pasangan harus mandiri. Dan karena Canda yang sangat menyukai lingkungan pesantren, membuat Ammar sengaja membuatnya di sana.

Ammar pun sudah diamanahi menjadi dokter kepala spesialis syaraf atas dedikasinya selama menjadi dokter di rumah sakit ia bekerja meskipun baru bekerja sekitar satu tahun.

Seperti biasa, lantunan adzan yang paling ditunggu Canda berseru juga. Suara yang sangat difavoritkannya. Prawira Ammar memang tiada duanya kalau adzan.  Canda menutup Al-Qur'an untuk segera bersiap-siap menunaikan kewajiban. Ia memastikan dulu setiap guling berada di sisi ranjang dan mengamati wajah batita berusia 3 tahun yang masih nyenyak tidur.

Namanya adalah Anredera Bimantara Prawira. Anugerah yang Allah berikan di waktu yang tepat. Setelah Canda menerima dengan lapang dan Ammar yang selalu memberikan energi sebagai kepala keluarga kepadanya. Setelah mereka mengikhlaskan segala ketentuan kepada-Nya dengan tidak menuntut dan menyesali segala hal yang terjadi. Bahwa mereka sadari semuanya adalah kekuasaan Allah SWT.

Canda mengecup kedua pipi gembul putranya. Tetesan air wudhu yang belum kering membasahi wajah yang membuatnya terganggu. Bergerak untuk mencari ketenangan, Anre membelakangi ibunya. Canda tidak bisa menahan gemasnya dengan memeluk hangat tubuh gemuk itu.

Suara salam Ammar terdengar diikuti dengan orangnya yang masuk ke kamar. Canda sudah mewanti-wanti Ammar untuk tidak berisik dan berjalan dengan pelan namun begitu saja ia melempar dirinya ke kasur dan mengecupi putranya dengan beringas.
Canda mencebik saat Anre menangis kencang dan memukul ayahnya untuk menjauh.

Sedangkan Ammar semakin tertawa geli, "Anre sayang, bangun Nak, kita jalan-jalan pagi yuk sama bunda. Ayah kangen nih,"

"Yah..."

"Iya apa sayang?"

"Yah!" Anre semakin menggumam keras.

Canda mengambil Anre dan menimangnya.

"Bawain dot nya di nakas, Mas, aku susah ambil nya."

"Susunya udah diganti?" tanya Ammar sambil menyerahkan permintaan Canda.

"Udah, ternyata kemarin mencret itu bukan karena susu tapi bakteri yang mau masuk ke perut Anre ya ... Bakterinya nakal ya, Nak? Nanti Bunda jewer telinganya biar gak sakitin Anre lagi."

Ammar berdiri di belakang Canda. Mengamati Anre yang sudah tenang dan melepaskan dot nya.

"Bentar lagi Anre udah berat buat ditimang sama Bunda nih," Ammar mengusap kepala Anre. "Cepet banget gedenya si kamu Nak."

"Kan biar cepet main bola sama Ayah ya? Kalahin Ayah,"

"Iya nanti Anre kalahin ayah ya, ayah gapapa."

Anre sudah merengek untuk diturunkan. Setelahnya ia meminta untuk ke kamar mandi.

"Gi, kat gi, Bun," ucapannya masih terpatah dan tidak jelas namun cukup dimengerti. Anre mengajak bundanya ke kamae mandi untuk sikat gigi. Anak itu sudah tahu kalau bangun tidur harus sikat gigi. Ammar selalu mengajaknya ke kamar mandi saat bangun tidur dan hendak tidur. Sehingga terbiasa.

"Ma Yah ... Yah ..." Baru berjalan beberapa langkah Anre membalikan badannya mencari ayahnya.

Ammar segera saja menggandeng Anre. Sedangkan Canda mengamati mereka yang sudah masuk. Ia memilih menyiapkan baju Anre karena sudah pasti Anre sekalian dimandikan Ammar. Mereka biasanya mandi berdua jika waktunya memungkinkan.

Hidup Canda rasanya sudah lengkap. Ada Ammar dan Ada Anre. Dua makhluk Allah yang sangat disyukuri kehadirannya oleh Canda. Allah telah begitu baik mengirimkan mereka untuk Canda. Memang benar, setelah hujan akan ada pelangi meski tidak selalu namun ada kesempatan pelangi itu hadir.

"Bun, Anre udah mandi nih, udah wangi juga, gantengkan anak ayah?" Ammar memamerkan Anre yang berbalut kimono mandinya dengan wangi semerbak peralatan mandi bayi.

Canda mengecup kedua pipi Anre dan mengambil alih Anre dari Ammar untuk dibajukan.

"Mas nanti ke rumah sakit kapan?"

"Sekitar pukul 7, Yang,"

Ada kalimat yang ia tahan namun setelah meyakinkannya akhirnya ia ungkapkan.

"Besok-besok aku udah nggak bisa pulang. Semua dokter dan tenaga medis lainnya di RSHS difasilitas  hotel untuk menginap. Terlalu rentan jika Mas bolak-balik RS ke rumah. Itu kebijakan pemerintah dan rumah sakit."

Canda menatap Ammar di sela membajukan Anre. Ada sirat kesedihan membayangkan ia akan ditinggal Ammar entah sampai kapan. Pandemik ini semakin parah dan kasus terjangkit semakin meningkat. Ammar dipercayai untuk menjadi salah satu relawan dokter yang ikut serta menangani penderita positif COVID-19. Sejak awalpun Canda mendukungnya, demi kebaikan bersama, demi negara, demi keselamatan setiap manusia. Meskipun nyawa Ammar sendiri taruhannya.

"Jangan sedih," ucap Ammar.

Canda mengulas senyum dan memilih menyelesaikan membajukan Anre.
Ia memilih baju bergambarkan seragam SD yang menggemaskan. Batita itu semakin lucu.

"Anak Bunda kok lucu banget si," Canda memeluk gemas Anre dan sesekali dikecupnya.

"Anak ayah juga dong bun. Sini, kita jalan-jalan pagi yuk. Kita cari cewek cantik ya Anre,"

Canda mencubit pinggang Ammar, "jangan diajarin gak bener."

"Bercanda, Yang."

Mereka akhirnya menikmati suasana fajar sebelum Ammar bertaruh dengan nyawanya dan tidak akan bertemu lagi dengan mereka. Membayangkannya Canda membuat Canda beristighfar. Ia harus berpikiran positif. Ia juga akan selalu mendo'akan Ammar.

Ammar mengecup pelipis Canda dan Anre sebelum mereka keluar rumah.

***

"Anre, Nak, Anre ... Ayo sini,"

"Nda, peyuk Yah, Yah,"

Anre menunjuk Ammar yang masih terpaku di ambang pintu. Setiap kepulangannya pasti seperti ini. Anre yang segera ingin menghambur ke dirinya. Sedangkan ia tidak bisa menuruti itu.

Anre terus mendekati Ammar dan mencoba meraih tangannya.

"No, Anre, no. Pergi ke bunda. Ayah mau mandi dulu. Habis itu ayah peluk sepuasnya. Mau ya?"

Anre menggeleng. Ia mencebikkan bibirnya hendak menangis. Membuat Ammar berkaca-kaca.

"Gimana kalau ayah gak ada di rumah, Nak? Dalam jangka waktu lama nggak tahu sampe kapan? Nggak tahu—" Ammar tercekat.

"Mas," Canda ikut berkaca-kaca ia tidak ingin menangisi ini. Namun hatinya tiba-tiba mellow setelah melihat daftar dokter yang terus berjatuhan. Ia takut Ammar seperti itu. Ia amat sangat takut.

Ammar mencoba mengukir senyum berusaha membuat keadaan tenang. Ia melirik Anre yang bingung. Ammar mengkode Canda untuk membawa Anre. Setelahnya ia membersihkan diri dengan mensterilkan seluruh tubuh dan barang-barang yang ia bawa dan disimpan di wadah khusus di luar rumah.

Ini adalah perjuangan Ammar. Dan tentang Canda di balik tegarnya seorang Ammar berjuang melawan pandemik. Demi keluarganya, Ammar akan kuat. Ia akan kembali ke keluarganya dengan sehat dan selamat. Semoga rekan-rekannya pun.

***

Stay safe to everyone...
Semoga pandemik ini segera berlalu.

Salam bahagia,
Ammar dan Canda + Anre

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang