39. Alhamdulillah

14.3K 436 38
                                    

39. Alhamdulillah

-----

Caca dan Ammar saling mengumbar senyum saat beberapa orang santri menyapa mereka. Beberapa santripun dengan terus terang merasa terpukau dengan pemandangan yang menakjubkan dilakukan sepasang suami istri itu. Ammar tengah membantu Caca memindahkan tanaman ke pot-pot yang sudah disiapkannya. Tangan mereka sudah pasti kotor dengan tanah. Sesekali Ammar juga menggombali Caca hingga raut bahagia dan gelak tawa terlihat jelas di mata santri yang berseliweran hendak menuju asrama putri ataupun putra, karena letak rumahnya menjadi perbatasan itu. Sedangkan, di depannya merupakan mesjid dan sekolah.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke Bandung, ke pesantren. Tempat pertama kali Ammar mengakui bahwa dia tertarik dengan Caca. Begitupun Caca yang patah hati. Serta pertemuan diam-diam mereka yang ditemani Nayla. Mereka ingin merajut mimpi-mimpi baru, mengubur serpihan-serpihan yang patah saat kemarin. Meskipun akan selalu terpatri namun suasana baru dapat membuat keduanya memiliki energi baru. Biarkan, kemarin menjadi kenangan dan hikmah yang dapat mereka jadikan pelajaran.

Caca pun sangat menyetujuinya ketika Ammar baru mengucapkan keinginannya itu. Di sana dia dapat sekaligus menimba ilmu agama dari para ustadz dan ustadzah. Dia juga rindu melihat pemandangan setiap sore santri berbondong-bondong membawa perlengkapan sholatnya ke mesjid. Ada yang sambil berlarian karena telat jadi takut dimarahi. Ada yang terpaksa. Dan ada yang begitu sangat rajin menunggu adzan di mesjid dengan bertilawah dan berdzikir. Dan suaminya, akan menjadi muadzin terajin. Itu hal yang paling dia tunggu-tunggu setiap menjelang maghrib. Suara suaminya begitu menggetarkan hati setiap orang sehingga ingin beranjak ke mesjid.

Caca tiba-tiba mengukir senyumnya sambil tetap menjalankan aktivitasnya memindahkan tanaman ke pot yang sudah Ammar isi dengan tanah. Tiba-tiba dia merasa ada hang mencolek hidungnya.

"Ah, Mas jahil!" Caca mengusap hidungnya yang Ammar sentuh dengan jari kotornya. Ammar tertawa. Wajah Caca semakin memberengut. Padahal semalam dia baru saja maskeran. Masa harus setiap malam? Ammar ini benar-benar ya...

"Kamu tambah cantik tahu."

"Mana ada!"

"Iya. Dua rius!" Ammar memamerkan dua jarinya.

"Mas juga tambah ganteng. Tapi kalau ..." Caca menyunggingkan senyum jahilnya. "Kayak gini. Hahaha."

Meskipun kedua pipinya sukses kotor, Ammar begitu menikmati tawa Caca yang renyah. Bidadarinya begitu menawan dengan tertawa. Ammar tersenyum melihatnya. Suatu kebahagian melihat tawa itu menghiasi wajah cantiknya. Alhamdulillah, Allah sudah menggantikan kesedihan itu dalam hati istrinya. Meskipun sulit sampai kapanpun, Ammar percaya istrinya kuat. Dia akan mampu menyimpannya dalam hati terdalam dan menyisakan ruang-ruang untuk kebahagiannya yang baru.

Segera Ammar merubah mimiknya menjadi kesal. Walaupun, rasanya dia tak bisa.

"Durhaka kamu, ya, giniin suami kamu."

Dan Caca hanya menjulurkan lidahnya kemudian bangkit. Ammar pun mengikuti. Mereka meninggalkan tanah yang masih berhamburan, pot-pot yang belum tersusun. Dan juga tanaman yang tergeletak dan sebentar lagi mungkin mati karena tidak mendapatkan unsur hara dan terlalu menerima banyak cahaya.

Dan, mungkin, Kyai dan juga Bu Nyai, alias mertua Caca dan orang tua Ammar akan berdecak dan menjewer mereka dengan senang hati karena telah membuat rumah Ndalem menjadi kotor. Padahalkan kebersihan sebagian dari iman.

Dan beberapa santri yang melihatnya ikut tertawa gemas.

"Kapannya aku nikah dan punya suami kayak Ustadz Ammar?"

"Lah, jangan mimpi kamu teh Nur. Sholat tahajud aja bolong-bolong mau minta kayak Ustadz Ammar, Allah juga nggak bakal rela." Ucap pedas temannya.

"Kamu teh suka bener, Yanti. Aku jadi galau."

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang