15. Ana Uhibbuka Fillah

9.4K 481 9
                                    

15. Ana Uhibbuka Fillah

***

Malam telah pekat. Hiruk-pikuk keramaian sudah terganti dengan jangkrik dan hembusan angin, khas malam. Caca masih terjaga, lengannya menjadi bantal dan kakinya meringkuk tanpa tertutup selimut. Kepalanya sudah bebas dari kain kerudung sehingga menampakkan rambut hitam legam panjangnya yang lurus seperti perawatan. Pikiran yang penuh menghambatnya ke dunia mimpi. Bagaimana tidak, pria itu sudah memporak-porandakan hatinya hanya dalam sehari. Dari pernyataan cintanya, pernikahannya dengan orang lain lalu sebuah kenyataan bahwa dia akan pindah ke Yogyakarta. Pria itu susah ditebak apa keinginannya.

Dia merasa diinginkan sekaligus ditolak secara bersamaan.

Caca menghela napasnya lalu berbaring terlentang. Melihat langit-langit kamarnya dengan kalut.

Andai saja, Ammar benar mencintainya. Dia mungkin akan bahagia. Wanita mana yang tak ingin bersanding dengan pria sholeh sepertinya.

Saat pagi menjelang, selepas subuh, Caca melihat sebuah amplop di bawah pintunya. Dia mengambilnya namun tak urung dibuka karena bisa saja amplop itu milik Fatimah.

"Fat, kamu dapet amplop nih!" teriak Caca karena Fatimah berada di kamar mandi.

Fatimah segera menyelesaikan urusannya lalu keluar dengan kening berkerut. Tak biasanya dia mendapatkan amplop kalau bukan uang bulanan dari orangtuanya yang itu pun diberikan oleh Pak Kyai.

"Kok tumben? Amplop dari siapa?"

"Nggak tahu tadi nemu di bawah pintu. Nih baca aja barangkali penting," Caca menyerahkan amplop itu ke Fatimah.

Fatimah menerimanya dengan kikuk. Perlahan dia membukanya dan menemukan secarik kertas di dalamnya. Ternyata surat.

"Ini surat apa ya?"

"Dari secret admirer mu mungkin." Kemudian Caca terkikik.

Fatimah memutar bola matanya lalu membuka lipatan kertas itu.

"To: Canda, yah ini mah buat kamu," namun setelahnya Fatimah menatap Caca terkejut, "Bentar deh, ini dari Gus Ammar? Ya ampun, kok bisa, Ca? Kamu ada hubungan apa sama dia?" Fatimah memberondong Caca dengan pertanyaan sedangkan Caca diam mematung dengan hati yang berdebar.

Saat melihat Fatimah akan meneruskan membacanya segera dia ambil surat itu. "Maaf, Fat. Ini privasi."

Setelahnya, Caca berlalu ke luar meninggalkan Fatimah yang terheran.

***

Sobekan-sobekan kertas yang mengotori rumput di bukit belakang pesantren seakan menjadi teman bagi pemiliknya yang tengah sama hancurnya.

Caca hancur ketika mengetahui bahwa Ammar mencintainya namun orangtuanya tak menyetujui untuk bersamanya. Kenyataan itu lebih menyakitkan dari kemarin.

Dia kira hanya harapan palsu yang Ammar berikan namun benar pria itu mencintainya.

Seketika, dia benci dengan hidupnya; keluarga yang berantakan, hampir diperkosa, dunia malam, dan agama yang buruk. Tak pantaskah dia untuk bahagia. Setidaknya, bersama orang yang mencintainya.

Caca memukul dadanya yang kian sesak, menyalahkan takdir yang tak adil menimpanya.

Beruntung bukit itu tak ada orang lain. Sehingga tak ada tatapan penuh tanya kepadanya.

"Apa gue nggak pantas untuk bahagia? Gue juga pengen bahagia." Caca menelungkupkan kepalanya di lipatan lututnya.

Dia tidak tahu jika seseorang tengah menatapnya pilu. Merasakan kesedihan yang menimpanya.

"Mbak Caca," suara lirih itu memanggil Caca.

Caca tersentak lalu menghapus kasar air matanya dan memasang senyum kepada gadis berkerudung biru langit itu.

"Eh, Nay,"

"Mbak kenapa?"

"Ooh gapapa kok lagi nyari angin aja. Kamu ngapain di sini?" tanya Caca.

"Mbak, jangan bohong!" Nayla menaikan sedikit intonasinya.

"Bohong apa?" Caca sekuat mungkin menahan gejolak di hatinya.

Bukannya menjawab, Nayla malah melemparkan diri, memeluk Caca. Menangis terisak di bahunya. Caca memalingkan wajahnya, menghalau air mata yang terpancing keluar lagi.

"Nay nggak ikhlas lillahi ta'ala kalau Abang nggak sama Mbak," ujar Nayla di tengah isakannya. Hal itu memancing Caca semakin terisak.

Mengusap kasar air matanya Caca mendorong bahu Nayla dan menatapnya lekat. Caca sungguh tak tahan melihat pipi bulat itu bersimbah air mata.

"Nay, denger ya, mungkin jodohnya Abang itu Mbak Zahra. Nay nggak boleh gitu." Bibir Caca bergetar ketika mengatakannya. Sekuat mungkin melawan rasa lain di hatinya yang perlahan mulai disadari. "Nay harus ikhlas. Mbak juga ikhlas karena Mbak Zahra lebih pantas buat Abang. Mbak..." Caca tak sanggup meneruskan ucapannya. Dia memeluk erat Nayla.

"Nay, apa Mbak nggak boleh bahagia? Apa Allah belum puas lihat Mbak menderita? Mbak pengen bahagia juga, Mbak kira ... Mas mu akan memberikannya," Caca terus menumpahkan rasanya.

***

"Mas mu bilang mencintai Mbak tapi kenapa hal sekecil pun tidak dia bagi dengan Mbak. Mas Wira akan pindahkan, Nay?" Caca menoleh pada Nayla yang bersandar di bahunya. Nayla hanya menatap Caca sendu. Dia juga bingung.

"Mas mu bilang mencintai Mbak tapi kenapa dia menikahi Mbak Zahra? Apa pernyataannya itu bisa Mbak pegang? Lantas, apa yang Mbak harapkan selain ikhlas, Nay? Kamu juga harus ikhlas, ya."

Berat rasanya untuk ikhlas. Dia ingin egois. Mengejar kebahagiaannya. Ammar adalah kebahagiaanya. Lelaki yang Allah kirimkan untuk menghapus lukanya. Lelaki yang sebentar lagi menjadi milik wanita lain.

Caca menghembuskan napas lelahnya.

Lelah akan kehidupannya yang selalu menderita.

Nayla mengangkat kepalanya dari bahu Caca dan menatapnya lekat, "apa Mbak mencintai Abang?"

Caca tertunduk dan pelan dia mengangguk. Cukuplah sebatas anggukan untuk menjawabnya.

***

Pendek?

Cukup ya sebagai pembuka setelah lama nggak update.

Lagi sibuk dengan dunia nyata sampai dunia orange aja nggak kepikiran.

So always support, keep voting and comment oke?!

Beri aku amunisi ya guys 😘

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang