20. Sebuah Pertemuan

9.5K 502 16
                                    

20. Sebuah Pertemuan

***

Pagi itu, di sebuah Gramedia di kawasan daerah Bandung dipenuhi oleh mereka yang mengikuti acara launching dan talkshow novel Perdana Caca.

Mereka semua memakai t-shirt yang sama; baju yang disediakan Caca khusus untuk penggemar novelnya. Awalnya, tercetus dari seorang penggemarnya untuk membuat t-shirt dan kemudian diramaikan di kolom komentar Instagramnya, menyetujui juga. Akhirnya, Adjie membuatkan desainnya secara suka rela. Pria itu bahkan lebih antusias dari Caca menyambut itu. Meski awalnya ditambahi tragedi 'happily ever after'. Sebuah ending yang dipercayai disukai oleh 99% orang di muka bumi.

T-shirt berwarna biru itu memenuhi area acara sampai penuh sesak. Ada yang datang sendiri, bersama temannya, keluarganya atau mungkin kekasih halalnya, ya, we can called it 'suami'. Keantusiasan mereka membuat Caca terharu, matanya berbinar namun kelenjar air mata tak kuasa ia tahan.

Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?

Caca berada di titik di mana dia menjadi sosok yang bermanfaat untuk diri pribadinya dan orang di sekitarnya. Hal yang dulu sama sekali tak pernah terlintas di pikirannya. Waktu itu, keinginannya hanya satu, ayah dan ibu dapat bersatu, berhenti bertengkar, dan memperhatikannya.

"Sudah siap?"

Adjie muncul dan memberikan sebotol air mineral. "Minum dulu. Tenangin diri kamu, jangan gugup nantinya ya."

Caca menerimanya dan meneguknya sedikit. "Aku bahagia banget, Mas. Hal yang tak pernah terlintas di dalam mimpi aku sekalipun sekarang terjadi. Hal yang tak pernah ku minta namun Allah memberi jalannya. Allahuakbar..."

"Skenario Tuhan itu yang paling terbaik, Ca. Editor, seperti aku atau kamu, nggak akan pernah bisa mengedit bagian cerita yang Dia tulis. Kita hanya bisa berusaha dan berdo'a. Dan ini hasil dari itu semua. Allah sayang sama kamu, Ca." Adjie belum tahu mengenai masa lalunya. Namun, melihat Caca hidup sendiri sudah menjelaskan bahwa ada masalah di anatara dia an orangtuanya. Adjie cukup tahu diri tidak bertanya masa lalu seperti apa yang Caca alami.

Caca menghela napasnya dan tersenyum, jejak air mata yang tak disadari jatuhnya dia hapus secepat kilat.

"Makasih, ya, Mas."

Adjie mengusap gemas puncak kepala Caca yang terlapisi kain kerudung. "Sama-sama, shalihah."

"Mas..."

***

Adjie dan bosnya, Dika, mendampingi Caca di atas panggung. Membantunya menjawab pertanyaan dan tentu menemani Caca yang sudah pasti kalau sendiri akan terkena demam panggung. Gadis itu belum berpengalaman berbicara di atas panggung, dilihati oleh ratusan orang akan membuat nyalinya ciut ke dasar jurang.

Host membuka acara tersebut dengan ucapan basmallah kemudian membacakan biografi Caca sebagai Si Penulis novel. Dulu, biografinya berwarna hitam putih, sekarang terlihat pancaran sinar dari matahari yang memantulkan cahayanya menjadi warna beragam. Canda adalah sebuah perenungan bahwa; sejauh apapun kaki melangkah, masa lalu tetap menjadi bagian diri tak terpisah. Dan, masa depan menjadi bukti perdamaian diri, yang mengawali langkah.

Tepukan bergemuruh bergema saat Host mempersilakan Caca menyapa penggemarnya.

"Mbak Caca, gimana nih perasaannya lihat keantusiaan penggemar novelnya?" tanya Host.

"Barakallah, senang banget. Nggak nyangka bakal seantuas ini ke penulis baru seperti saya. Rasanya terima kasih aja nggak cukup saya berikan kepada mereka. Saya berharap apa yang saya tulis di novel itu menjadi hal bermanfaat untuk mereka." Caca berbicara dengan lancar, tak terlihat gugup sedikit pun. "Saya juga berterima kasih kepada Pak Dika, selaku pimpinan saya, yang mau meminang novel ini padahal belum rampung. Namun, beliau berkata bahwa novel saya menarik dan siap diterbitkan." Dika mengangguk membalas tatapan Caca yang menyiratkan rasa terima kasihnya.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang