12. Berakhir Sebelum Memulai

9.9K 527 3
                                    

12. Berakhir Sebelum Memulai

***

Malam sudah berlalu namun pagi pun masih malu. Angin berhembus kencang membuat setiap orang semakin merapatkan tubuh pada selimut, memeluk erat guling, meringkukan tubuh, berguling mencari tempat nyaman, lalu terlelap. Itu bagi kaum jomblo. Kaum halal tentu memiliki kelebihan tersendiri, merapatkan tubuh pada pasangan, memeluknya erat, saling melilitkan badan mencari kehangatan atau mengais pahala di menjelang sepertiga malam atau juga pergi ke kamar mandi mengambil air wudhu lalu menunggu waktu sholat sepertiga malam bersama sang pasangan.

Alangkah indahnya bukan. Tidak usah iri. Iri hanya tanda bagi orang tak mampu karena kita jelas sebagai manusia memiliki hak untuk berkeluarga yang mana tercantum dengan sah di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, di dalam al-qur'an juga as-sunnah. Lantas apa yang ditunggu? Bertahun-tahun pacaran dengan alasan agar saling mengenal, apakah benar?

Yang tidak punya pacar, diledek. Yang baru putus, dipanas-panasin. Yang belum pernah punya pacar, dibully. Lalu, yang menghamili pacarnya pantas diapakan?

Pacaran bukan hal benar sekalipun mereka bilang pacaran islami. Nggak ada pacaran islami seperti itu dalam islam, menggantung anak orang diikatan yang belum jelas bukan hanya menurut negara namun agama. Karena pacaran islami adalah mereka yang meminta kepada orangtuanya, menghalalkan ikatan mereka dihadapan Allah SWT.

Di menjelang sepertiga malam itu, Wira bukan tergolong keduanya. Di menjelang sepertiga malam dia mengemudikan mobilnya, membelah jalanan Ibu Kota menuju Bandung. Tanda-tanda kehidupan mulai terlihat ramai, ada pedagang yang sedang berbenah barang dagangannya sedang kuli angkut menunggu barang yang akan ia angkut, ibu-ibu membawa keranjang sayur mencari bahan makanan untuk dimasak, tukang ojeg dan angkutan yang terlihat mengetem di terminal sedang menunggu penumpang ketika terlihat ada orang melambaikan tangan —memanggil ojeg— maka mereka akan berebutan atau paling lucu berhompipah siapa yang menang dia yang mengantar, atau yang paling miris melihat gerobak yang ada di pinggir jalan, bukan karena gerobaknya namun siapa yang ada di baknya, seorang bapak dan kedua anaknya menyandar pada gerobak karena luas yang tak mencukupi satu anak yang paling kecil di pangkuan si Bapak lalu agar menghindari dari hujan sengaja membuat atap dari plastik yang terlihat sudah ditambal di mana-mana. Allah ... betapa patutnya untuk selalu bersyukur, walaupun tidak dikatakan memiliki banyak uang namun masih memiliki tempat pulang.

Sepanjang perjalanannya dia nikmati walau kantuk tak terelak mulai membelai matanya. Beberapa kali dia berhenti dan meminum cairan isotonik, tubuhnya juga cukup lelah setelah melakukan operasi 5 jam lamanya.

Akhirnya dia baru bisa bernapas lega setelah melihat gada-gada pesantrennya mulai terlihat. Membelokan mobilnya, memasuki pelataran dan memparkirkannya di bagasi.

Wira menghela napas lelah. Mengambil jas dokternya yang dia simpan sembarang di jok belakang kemudian keluar dan beralih mengambil kopernya di bagasi.

Sayup-sayup suara speaker dari mesjid terdengar, pertanda sholat subuh akan segera dimulai. Wira segera mengetuk pintu, mengucapkan salam berkali-kali berharap Abi, Umi, Nayla dan ... ya tentu Canda masih ada di rumah.

"Abi, Umi, Assalamu'alaikum .... " Wira kembali memanggil.

Bunyi kunci dibuka terdengar oleh Wira lalu menunjukan wajah Umi yang sudah terbalut mukena. Umi tersenyum sumringah menyambut Wira. Mengusap rambutnya saat Wira menunduk mencium tangannya.

"Kamu pasti capek, Mar. Wajahmu kuyu begitu, ini lihat ... Ya Allah ... itu kantung mata atau mata panda? Hitam pisan kitu!" Umi menggelengkan kepalanya. Wira hanya tertawa menanggapi kehebohan Umi, menurutnya itu sudah biasa bagi seorang dokter sepertinya.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang