32. Kilas Cerita Masa Lalu

7.7K 348 8
                                    

32. Kilas Cerita Masa Lalu

---------

Langkah yang menimbulkan suara sepatu saling bersautan itu ditimbulkan oleh dua orang yang berjalan beriringan. Menyusuri lorong rumah sakit, berbaur dengan keluarga pasien, tenaga rumah sakit, pasien yang sedang berjalan maupun merileks'an tubuh mereka, menghirup udara bebas. Mereka saling hilir mudik dengan berbagai ekspresi. Ada yang kentara terlihat sedih, ketakutan, bahagia, lelah, bersemangat menjadi hal yang biasa tertangkap netra penglihatan dua orang itu.

Tanpa berbicara sedikitpun, perempuan yang baru saja bekerja di rumah sakit itu tahu ke mana arah langkah kaki dari yang dia sebut temannya pada waktu itu. Berbelok ke arah lorong lainnya, menelusuri jalan yang lebih ramai lagi. Bisingnya mulai terdengar sampai beberapa jarak dengan mereka yang baru berbelok arah. Padahal kantin letaknya belum dapat mereka lihat.

Ada yang menyebabkan mereka sama-sama diam tanpa berbincang selama berjalan.

Pikiran Ammar kembali ke saat mereka keluar dari ruang rapat. Jian dengan terburu menjajari langkahnya, menarik lengan jas pria itu agar berhenti.

"Ammar!"

Ammar berhenti dan melihat tangannya yang dicekal sebelum menatap wajah orang yang mencekalnya.

Jian mengangkat tangannya dan tertawa sumbang, "maaf! Aku lupa kamu gak mau disentuh." Perempuan itu memberi arti ganda yang sama sekali tak Ammar sadari.

Ammar tertawa. "Aku tadi mau nyapa kamu tapi lagi rapat, sorry, Ji! Awalnya, aku terkejut liat kamu bekerja di sini. Apa Amerika udah nggak semenarik itu buat sosok seorang Jian?"

"Nggak ada yang menarik kalau gak ada pasangan di samping kita, right?"

"Ya. Tentu." Ammar tersenyum.

Mereka setuju untuk duduk lebih dulu di kursi panjang dekat dengan ruang rapat. Mereka sama-sama belum waktunya untuk bekerja. Masih ada beberapa saat untuk mengobrol.

"Jadi, kamu sendiri?"

"Apa?"

"Pasangan? Kamu udah punya pacar? Atau mungkin ... Menikah?" Jian menelan ludahnya saat mengucapkan kata terakhir itu. Seperti ada yang mengganjal di dalam tenggorokan. Secara cantik dia menyembunyikannya dengan senyuman seolah baik-baik saja.

Tentu saja Ammar tidak menyadari itu. Dia malah tersipu. Teringat dengan istrinya, Canda, di rumah.

"Aku udah nikah. Beberapa bulan yang lalu. Sorry tak ku undang, aku gak tahu nomor baru kamu. Ganti nomor kan?"

Ketakutan Jian menjadi nyata. Mendadak dia sesak. Dia gak tahu harus gimana menghadapi kenyataan itu. Sejenak kefokusannya hilang. Ammar melihat tangan Jian saling meremas di pangkuan. Dia heran. Apalagi dengan Jian yang nampak melamun, wajahnya terlihat gurat kecemasan.

"Jian! Jian!" Panggil Ammar dua kali.

Jian terkesiap. Dia kikuk. "Ja-jadi, kamu, kamu, udah ... Nikah?"

Ammar mengangguk.

Jian mengusap wajahnya dengan putus asa.

"Kenapa kamu nikah?!" Ujarnya kesal.

"Kenapa kamu nanya gitu? Aku udah mantap lahir dan batin. Ada yang aneh? Kamu seperti nggak suka aku nikah, hm?!"

"Kamu nggak seharusnya menikah, Ammar! Nggak seharusnya!" Ada jeda sejenak. "Kamu egois. Kamu nggak mikirin perasaan Kina!"

Kerutan di dahi Ammar semakin kentara. Temannya begitu terlihat tidak suka dia sudah menikah. Kemudian, ada apa dengan Kina? Kina, temannya? Ada apa sebenarnya? Kenapa hatinya berkata ada sesuatu yang tidak beres?

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang