10. Getaran Bermagnitudo Tinggi

9.6K 504 3
                                    

8. Getaran Bermagnitudo Tinggi

***

WIRA

"Skakmat!"

aku berdecak saat melihat kuda Mas Andri membuat mati kutu raja-ku untuk kedua kalinya.
Semua pasukannya masih berbaris rapih di tempatnya sedangkan pasukanku sudah keluar kandang semua bahkan raja sudah tak ditempatnya. Mas Andri menggeleng-gelengkan kepalanya dan terbahak, merasa puas dengan kemenangan yang dia raih. "Ayo, mana janjimu, Wir!" Mas Andri mengerlingkan matanya padaku. Aku mendengus.

Ku keluarkan handphoneku dan mencari kontak restoran yang biasa ku gunakan jasa deliverynya. Perjanjian yang kami sepakati, saat siapa yang kalah harus mentraktir makan. Dan aku hanya bisa menghela napas saat Mas Andri menyebutkan pesanannya. Dia sangat berniat membuat ATM ku menipis.

"Ayo, sekali lagi, Mas."

Aku merapihkan pasukanku. Kalau punya Mas Andri? Tak usah. Karena mereka masih setia di tempatnya. Entah kenapa bisa aku bermain sememalukan ini.

Mas Andri menepuk bahuku, memberhentikan tanganku yang sedang bekerja. "Percuma. Konsentrasimu sedang jelek, Wir. Mas heran, kamu ini sedang mikirin apa?"

Belum sempat aku menyela Mas Andri sudah berbicara lagi, "mikirin belahan jiwamu yang di Bandung?" Dia mengerlingkan matanya, menggoda.

Keningku berkerut. "Siapa toh Mas? Mas ini mengada saja!"

"Caca?"

Deg.

Allah ... kenapa hati ini bergetar hanya karena mendengar namanya?
Apa ada yang salah dariku? Hatiku?

"Hahaha. Tuh 'kan apa yang Mas katakan memang benar. Segerakan. Mas siap dukung kamu paling depan," ucapnya mengkompori.

Aku menunduk dan mengusap wajahku. Allah jika dia memang jodohku, dekatkan. Jika dia bukan jodohku, maka berikanlah jodoh terbaik-Mu untukku. Sungguh, siapa yang tak mau menyempurnakan separuh agamanya?
Mengharap limpahan pahala di setiap yang kami lakukan tanpa takut terkena dosa-Mu. Berdua kami berjalan mencari Rahmat-Mu. Dan berharap dipersatukan dalam surga-Mu.

"Sudah jangan dipikirin terus. Bukan muhrim makanya cepet halalin. Hahaha." Suara Mas Andri meledekku lagi.

Allah ...

***

Sejam yang lalu Mbak Asti menyeret pulang Mas Andri yang keasyikan meledekku —bukan bermain catur. Ada baiknya juga. Jika dibiarkan aku nggak tahu akan seperti apa mukaku karena Mas Andri bilang sudah sebelas-duabelas dengan tomat busuk. Tak ku pungkiri memang efeknya begitu dahsyat. Bukan hanya wajahku namun hatiku. Gara-gara ledekan tadi malam ini mataku sulit terpejam. Otakku seakan tidak mau berhenti mengingat wajahnya yang malu-malu saat terakhir kali kami bertemu, di rumah, minggu lalu.

Ku usap wajah dengan kasar. "Astaghfirullah,"

Aku segera bangkit dan pergi ke kamar mandi. Mengambil wudhu, berniat bertadarus sebentar hingga hati ini tenang tak condong lagi selain dari-Nya. Jujur saja, aku takut Allah akan marah bila hati dan pikiran ini memikirkan yang bukan muhrimnya. Sama saja dengan zina bukan, zina hati, tepatnya.

Saat aku menggelar sajadah, tiba-tiba ingatanku mundur ke peristiwa sebulan yang lalu, sebelum dia ku antar ke pesantren. Lagi, aku beristighfar. Berusaha kembali ke area kewarasan yang tadi telah mengembara ke peristiwa itu.

Tanpa buang waktu, aku mengambil al-qur'an di rak dan kemudian tenggelam dalam ayat-ayat yang kubaca. Seketika hatiku menjadi begitu tenang, pikiranku kembali waras, dan tentu hati ini kembali kepada-Nya. Namun entah setelah ini, bagaimana. Aku belum tahu dengan hatiku.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang