19. Menunggu Waktu Untuk Menjadi Genap

9.5K 505 4
                                    

19. Menunggu Waktu Untuk Menjadi Genap

***

Caca sedang disibukkan dengan penerbitan novelnya. Pembaca yang antusias membuat penerbitan itu dipercepat, jauh dari perkiraan. Naskah lain yang siap cetak pun harus dicancel untuk mendahulukan naskahnya. Menyiapkan segala bonus untuk diberikan kepada pembaca itu juga cukup menyita waktunya. Setelah pre order ditutup terhitung 1.100 orang yang memesan dengan jumlah yang bervariasi. Di antaranya mereka tidak mau repot pergi ke Gramedia sehingga tidak melewatkan PO. Harga yang cukup murah pun disambut antusias oleh mereka.

Instagram miliknya dibanjiri oleh komentar para pembacanya yang mengatakan ketidaksabarannya mendekap novel itu. Caca tersenyum sumringah, respon mereka jauh dari prediksi Caca. Caca kira mereka akan acuh terhadap penulis baru namun ternyata mereka begitu care. Menyambut hangat karya perdananya.

Caca membalas beberapa komentar di antara semua komentar yang masuk. Jempolnya tidak cukup kuat untuk membalas semuanya apalagi rata-rata isi komentar mereka sama. Layar ponselnya di scroll ke bawah membaca komentar yang baru. Tangannya tiba-tiba berhenti dan terpaku dengan satu komentar yang masuk 2 menit yang lalu.

Ammar_pwr I can't wait.

Jantungnya bertalu kuat. Hatinya tiba-tiba sesak. Dia tidak tahu kapan memfollow akun Ammar. Bahkan username miliknya pun dia tidak tahu. Begitupun Ammar padanya. Sebagian hatinya penasaran ingin memastikan akun itu namun sebagian lagi menolak. Batinnya tengah berperang dan dimenangkan oleh sisi penasarannya. Caca membuka akun itu melihat foto yang di posting dan tiba-tiba dia menekan tombol home.

Cukup.

Sudah cukup, rasanya untuk tidak kepo dan berakhir dengan hatinya yang sakit lagi. Rupanya, ucapan ikhlas yang sering dia lontarkan hanya omong kosong. Hatinya masih terikat pada hati pria itu.

Terikat pada hati suami orang. Allah ...

Caca terus beristighfar, ponselnya sudah dia taruh dan memilih tenggelam dalam lipatan lututnya. Detik terus berlalu, bahu Caca menjadi bergetar dan isakan mulai terdengar. Dia Menangisi hatinya yang tak bisa menentukan ke mana harus berlabuh. Demi Allah, dia sudah berusaha namun kenapa hatinya tetap bercokol kuat pada pria itu.

***

"Pencetakkannya sudah beres kemungkinan besok bisa ditanda tangani olehmu. Saya harap tangan kamu dalam keadaan baik dan,  hm, persiapkan krim pegal karena saya tahu menandatangani 1000 buku bukan hal sepele. Untuk itu, saya memberi waktu 3 hari dan setelahnya akan didistribusikan menjadi 4 bagian pengiriman." Seperti biasa Dika enggan untuk berbasa-basi. Tepat, Caca masuk ke ruangannya saat itu juga dia berbicara. Padahal laki-laki itu memiliki fokus lain yang ada di mejanya.

Di tempatnya berdiri Caca mengangguk patuh.

"Ada lagi, Pak?" tanyanya.

Dika tidak menjawab dia mengibaskan tangan kanannya, meminta Caca berlalu. See, bosnya itu orang yang paling serius, not like bulshit, all his life is just about the facts and act.

"Jangan ngedumel. Pamali." Adjie menasihati Caca ketika pintu ruangan Dika terbuka menampilkan dirinya.

"Eh, apasih, nggak kok." Elak Caca. Karena meski bosnya begitu dia tidak sakit hati. Caca mengenal baik Dika. Dika yang seperti itu adalah pemimpin yang tidak menyukai sesuatu yang tidak berarti karena business is business. Waktunya adalah uang ketika waktu itu terbuang akan hilang bisnisnya. Penerbitan yang dia dirikan termasuk penerbit mayor tua yang telah menaungi hampir ribuan novel, buku, dan lainnnya. Namanya sudah dikenal dikalangan penulis. Sehingga penerbitannya menjadi sorotan dan tak jarang ada lawan yang ingin menjatuhkan.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang