13. Cinta Tak Harus Memiliki

9.7K 491 24
                                    

13. Cinta Tak Harus Memiliki

Biarkan cinta ini cukup ku rasa
Merasuk menggerogoti
Biarkan cinta ini bersemayam
Untuk kau wahai terkasih

***

"Mar, Abi tahu kamu bukan semata-mata untuk bertanggung jawab."

Meskipun ucapan Abi terdengar ambigu. Wira tahu ke mana arah pembicaraan itu. Tanpa mau menyela, dia tetap diam mendengarkan lagi.

"Cinta itu fitrah. Nggak bisa dihalangi, dibatasi, dicegah, sama hal nya dengan hak kita sebagai manusia. Ketika kita menginginkan hak maka kewajiban harus terpenuhi. Abi tahu kamu sudah mapan, untuk memenuhi sandang, papan, dan pangan istrimu." Abi diam sejenak. Melihat reaksi Wira yang ternyata tengah mengerutkan keningnya. "Dengan itu, kamu berhak memilih calon istri yang sepadan denganmu," lanjutnya.

Wira mengerti sekarang. Allah ... kenapa bisa Abinya berbicara seperti itu. Apa maksudnya?

"Maksud Abi, apa? Demi Allah, Ammar nggak mengerti dengan pola berpikir Abi sekarang."

"Menikahlah dengan Zahra."

Indonesia sudah memasuki musim kemarau-nya.
Sehingga, angin berhembus lumayan kencang menerpa tubuh dan menerbangkan helaian rambutnya pun debu yang terkadang menganggu penglihatannya. Wira masih tetap duduk bersila di hamparan rumput yang terletak di belakang pesantren. Tempat itu tergolong dataran tinggi. Di bawahnya bisa terlihat lapangan olahraga serba guna. Tempat ini adalah spot paling disukainya.

Wira melihat siswi SMA yang tengah bermain bola voli. Di pinggirnya, ada tim support mereka yang gaduh berteriak, menyemangati. Terkadang mendendangkan yel-yel kelasnya.

Wira tergelak. Masa seperti itu yang susah untuk dilupakan. Apalagi teman-temannya. Wira ingat, di hari perpisahan SMA-nya dulu, banyak temannya yang menangis, saling meminta maaf, dan mengancam untuk selalu menjalin silahturahmi. Kurang lebih: "Awas ya kalo nggak hubungin gue!!" Seperti itu.

Tetapi ada hal lain yang tak bisa dilupakannya. Ucapan Abi.

Entah dari mana Abinya itu mendapat ide untuk menikahkannya dengan Zahra. Gadis itu memang impian laki-laki tapi tak ada niatan sedikit pun untuk Wira mempersuntingnya. Pun setelah dia beristikharah.

"Assalamu'alaikum, Gus."

Wira menoleh ke sumber suara. Laki-laki berperawakan tinggi, mengenakan baju kebesarannya; sarung dan koko. Dia tahu laki-laki itu. Orang yang dikagumi oleh adiknya. Pantas saja, dia terlihat bertambah tampan seperti pujaan wanita kebanyakan.

"Wa'alaikumsalam, Ar. Sudah berapa lama kita nggak bertemu? Saya dengar dari Abi, kamu kuliah, ya? Ngambil jurusan apa?" Wira memberondong Ardi dengan pertanyaannya.

Ardi ikut duduk bersama Wira. "Gus kebetahan di Jakarta, sih, sampai lupa sama pesantren. Alhamdulillah berkat beasiswa dari pesantren, Gus, akhirnya bisa kuliah di jurusan akuntansi," jelas Ardi.

Wira menepuk bangga pria itu. "Banyak bersyukur. Jangan sombong, ya, tetap rendah hati."

"Insyaallah, Gus. Ngomong-ngomong, Gus sendirian aja?"

"Kelihatannya?"

"Ya, Ardi kira sama istri." Ardi tersenyum jenaka.

"Kamu ini ... " Wira merasa kesal karena sudah diusili.

Ardi semakin tergelak.

"Ardi kira Gus betah di Jakarta karena bareng istri. Tahunya, jomblo fisabilillah, Gus?" Ardi menaikan alisnya lengkap dengan seringaiannya.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang