36. Kamu, Gila!

8.1K 341 7
                                    

36. Kamu, Gila!

-------

"Mas, aku mau pulang!"

Rengek Caca yang begitu Ammar rindukan. Sudah beberapa hari ini dia tidak melihat Caca yang dulu selalu merengek, manja dan menempel padanya. Dia berubah seolah menghindar. Enggan menatap. Enggan berurusan terlalu lama dengannya bahkan untuk urusan membersihkan diri dan keperluan pribadinya. Bahkan Caca memilih makan sendiri tanpa dibantu. Ammar tidak bisa bersikap karena dia tahu dia sudah melakukan kesalahan. Ammar hanya menatap dari kursi yang berada di ujung dinding ruangan dekat dengan kaca yang berhadapan dengan bed nya, tengah melahap bubur sup yang masih hangat dengan segelas air putih yang terhidang yang sengaja dihidangkan di meja yang tersedia di  bed nya.

"Nanti aku tanya dokter dulu, ya."

"Aku mau pulang siang ini!" Caca mulai keras kepalanya.

Ammar menghela napas. "Iya, Mas usahakan. Lagian, rumah juga kayaknya masih diberesin sama Si Mbok."

Keningnya berkerut, "Si Mbok?"

"Mas sewa pembantu. Kamu harus banyak istirahat untuk pemulihan. Mas juga gak mau kamu kecapekan biar ada yang bantu di rumah."

"Tapi, maksud aku bukan pulang ke rumah." Caca menyimpan sendoknya dan meneguk segelas air. Dia lihat Ammar sudah menaikkan alisnya. "Aku mau pulang ke kontrakan."

"Kontrakan apa?"

"Kontrakan aku. Masa Mas lupa?"

"Seingat Mas kamu hanya punya kontrakan saat di Jakarta. Jangan Bi-bilang ...." Ammar tidak berani memgucapkan kalimat seterusnya untuk melengkapi kalimatnya yang buntu.

"Iya. Aku mau pulang ke sana. Mas keberatan atau tidak aku ingin pulang ke sana. Sebaiknya kita menjaga jarak dulu,"

"Apa kamu bilang?!" Suami mana yang tidak akan marah jika mendengar kalimat itu dari istrinya yang secara tersirat mengatakan bahwa dia ingin menjauh dari suaminya. Caca sungguh kekanakan. Dia tidak memikirkan Ammar.

Caca menundukkan pandangannya, dia takut melihat Ammar yang semakin mendekat dengan terus menatapnya tajam. Lengannya dicengkram keras. Hingga tulangnya terasa linu.

"Kamu kekanakan! Kenapa harus meminta itu? Apa karena masalah kemarin? Hah, bilang?" Ada jeda untuk mengontrol emosi Ammar. Dia mulai sedikit melunakan suaranya saat melihat Canda yang mulai terisak. "Bilang ke Mas, kenapa kamu ingin menjaub dari Mas? Kamu tahu jika aku gak bisa hidup tanpa kamu. Dan sekarang kamu mau ninggalin, Mas? Mas gak percaya kamu setega itu. Apa karena sekarang kamu merasa bebas setelah tidak mengandung anak dari Mas? Kalau gitu kenaoa gak sekalian kamu ajukan cerai?!"

Dengan linangan air mata dan isakannya Caca menatap Ammar yang masih berkabut amarah. "Mas salah! Kamu pikir setelah aku kehilangan anak kamu itu aku bahagia? Aku bebas? Gak pesakitan lagi? Kamu salah, Mas! Aku sakit. Calon ibu mana yang nggak sakit ketika kehilangan calon bayinya? Aku terpukul, aku putus asa untuk ngasih kamu keturunan. Kamu ngerti aku nggak sih?"

"Kamu pikir kamu sendiri yang terpukul? Mas juga terpukul. Tapi bukan seperti ini caranya. Bukan dengan meninggalkan, Mas, disini. Dengan segala masalah. Mas ingin selalu ada di samping kamu. Menghadapi masalah bersama. Saling menguatkan diri. Bisakan? Tolong ...." Ammar mencoba mengambil hati dan merubah pikiran Caca yang dia anggap gila itu. Bagaimanapun dia ingin Caca di sampingnya. Menemani setiap harinya meski masalah silih berganti datang dalam kehidupan mereka.

"Mas, aku nggak bisa. A-aku ingin sendiri."

"Mas antar ke rumah ibu saja, ya. Biar kamu sama Ibu, ibu juga belum tahu keadaan kamu. Mas juga bisa  pulang pergi nengok kamu."

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang