14. Harapan Palsu

8.5K 449 13
                                    

14. Harapan Palsu

Cinta itu dihalalkan
Bukan diberi harapan

***

Nayla menatap hampa kerumunan orang-orang yang memenuhi ruang tamu. Dia memilih memposisikan diri di pojokan. Melihat abangnya —yang dia tahu terpaksa— tersenyum bahagia di hadapan Zahra juga keluarganya. Setelah, abangnya menyetujui perjodohan itu Abi langsung saja mengajak menyambangi kediaman Zahra di Majalengka.

Dia masih geram. Amat sangat geram dengan Ammar yang memberi harapan palsu pada Canda. Bagaimana bisa, di satu waktu di naikan ke atas awan lalu dihempas ke jurang. Padahal dia lebih suka Canda dari pada Zahra menjadi istri abangnya. Dia tidak bodoh, kejadian di mesjid waktu itu dia lihat jelas kalau Zahra menarik kerudung Canda.

Dia tidak mau abangnya menikah dengan gadis bertopeng. Yang baik di luar buruk di dalam.

Umi menepuk bahu Nayla hingga terperanjat kaget. "Umi ngagetin ihh!" Nayla mengelus dadanya naik turun.

"Tong ngalamun. Kasurupan keun!" (Jangan melamun. Nanti kesurupan, lho!)

"Nggak, Umi, Nay nggak ngelamun cuma merenung aja. Hehehe." Nayla mengakhirinya dengan cengengesan.

"Sami wae. Emang ngalamunkeun naon Nay, teh?" (Sama aja. Memangnya Nay ngelamunin apa?)

"Ngelamunin, kunaon Abang bade nikah sareng Mbak Zahra henteu Mbak Caca." (Melamunin kenapa Abang mau nikah sama Mbak Zahra daripada Mbak Caca)

Umi melotot pada Nayla. Meminta berbicara pelan agar tidak didengar oleh orang lain. "Pelan-pelan!"

"Ahh, Umi, Nay sebel pokoknya. Nay nggak ikhlas lillahi ta'ala abang nikah sama Mbak Zahra. Lebih baik abang ngebujang, Mi," runtuk Nayla dengan wajah yang sudah tertekuk-tekuk.

Umi tersentak dengan ucapan si bungsu itu. "Jaga lisan kamu, Nay. Manusia itu hanya bisa berencana tapi Allah yang menentukan. Kalau kamu kayak gitu sama aja kamu mengingkari takdir Allah." Umi menarik halus tangan Nayla. "Yuk ke depan. Nggak enak sama yang lain!"
Nayla berdecak dan menurut mengikuti Umi ke depan.

***

"Zahra, seneng deh Mas sebentar lagi kita nikah. Mas tahu nggak dari dulu itu Zahra suka sama Mas Ammar dan sempat berharap jadi istrinya Mas, eh, tahunya dikabul sama Allah. Alhamdulillah." Zahra menoleh pada Ammar yang hanya diam. Duduk beberapa meter dari Zahra di kursi kayu di teras rumahnya.

Keluarga mereka mengijinkan untuk mengobrol  sembari menunggu diskusi penentuan hari pernikahan.

Tak ada binar kebahagiaan sedikit pun di wajah Ammar. Berbeda dengan Zahra yang nampak berseri-seri, begitu bahagia dengan perjodohan yang dilakukan keluarga mereka.

"Mas, kok diam?!" Zahra menatap Ammar dengan kening berkerut, "ooh, Zahra tahu, Mas pasti lagi deg-deg'an ya? Ihh, Zahra juga sama kok. Kalo nggak percaya siniin deh tangan Mas. Udah kayak mau loncat tahu jantungnya."

Tanpa terasa, Zahra sudah memegang lengan Ammar dan hendak membawa ke dadanya.

"Astagfirullah!" Ammar menyentak tangan Zahra kasar. Menatapnya penuh amarah karena sudah melanggar batasan sesama lawan jenis.

"Jaga sikap kamu, Ra. Kita ini bukan mahram. Haram untuk saling bersentuhan dan bertatapan. Lebih baik tundukan pandanganmu!" Ammar menggelengkan kepalanya tak habis pikir lalu memilih bangkit dan kembali ke dalam.

Berlama-lama di sana tidak baik untuk mereka. Khususnya, dirinya.

"Mas, Mas Ammar! Kok ditinggalin sih?!" Zahra mencebik kesal.

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang