7. Selayaknya Endorphin: Candu dan Menggoda

11.4K 535 11
                                    

7. Selayaknya Endorphin: Candu dan Menggoda

***

"Eunghhh ..."

Canda merentangkan kedua tangannya saat sinar matahari sudah menelusup ke celah-celah gorden. Sehabis Subuh tadi dia menuruti titah Ammar untuk beristirahat sebelum mereka pergi ke Bandung. Ammar pun pergi ke apartemennya dan akan menjemputnya jika hendak pergi. Mengingat sosok Ammar yang begitu baik itu membuat pipinya bersemu, Allah sisipkan rasa kagum di dalam hatinya. Gejolak darah mudanya seolah sedang membara dan meletup-letup dan rasanya begitu menggairahkan. Hormon adrenalin mengambil peran lebih banyak hingga kesedihan itu terlupakan dengan euphoria kebaikan Ammar padanya.

Canda memiliki semangat baru untuk segera bangun. Sebelum ke kamar mandi dia membereskan tempat tidur lalu mengikat asal rambutnya dan membawa handuk yang telah disiapkan Asti. Ngomong-ngomong, Andri sedang bekerja dan Asti tengah menemani putranya di TK yang kemungkinan sebentar lagi akan pulang.

Dalam genggaman kedua tangannya terdapat baju yang dipinjami Asti. Tentu, Asti akan memberinya gamis lagi. namun, kali ini Asti bilang gamisnya masih baru dan diberikan secara percuma untuknya pakai sebagai hadiah persaudaraan. "Ini Mbak kasih buat kamu. Nanti kamu pakai terus ya. Terus istiqomah dan menjadi muslimah yang taat, Sayangnya Mbak. Ketika kita bertemu lagi di kemudian hari Mbak pengin sudah melihat kamu jauhhh ... lebih baik lagi. Bisa kan? Mbak akan mendo'akan kamu dari sini." Kemudian Asti memberikannya senyuman yang menyejukkan hati Canda. Asti memakaikan kerudungnya untuk mengetahui bahwa Canda layak dan cantik menggunakannya.

Saat ini Canda mematut dirinya di cermin. Memindai tubuhnya yang dia rasa begitu tidak pantas menggunakan setelan gamis. Kerudung yang tadi sempat dipakaikan Asti masih dia genggam karena ragu menggunakannya. "Ya Allah ... apa ini saatnya? Aku merasa belum pantas untuk menggunakan ini."

Canda menimbang-nimbang cukup lama untuk menggunakannya. Meskipun dia ingin namun rasa tidak pantas itu lebih kuat. Lalu dia memutuskan menggunakan gamisnya saja dan menyimpan kerudungnya di atas kasur. Gamis hijau tosca dengan tak banyak motif yang menghiasinya itu terlihat elegan. Bagian bawahnya berempel depan dan berlengan model lonceng. Nampak manis sekali digunakan Canda.

Kembali mematut di cermin, membalikkan tubuhnya ke kanan, ke kiri dan berputar. Canda terpukau dengan gamis itu. Dia kira gamis itu kuno dan tak modern namun ternyata bisa secantik itu. Dia mengambil paper bag dan memasukkan kerudungnya dengan berat hati. "Secepatnya, kerudungnya bisa aku pakai, Mbak."

Setelah selesai berpakaian Canda beranjak keluar sambil menanti Ammar mungkin dia bisa bersih-bersih di ruangan lain sehingga ketika Asti datang dan dia pergi tidak meninggalkan kekacauan.

***

"Astagfirullah..."

Ammar melafalkan itu saat sebuah senyum dengan kurang ajarnya terlintas begitu saja. Padahal otaknya sudah segar dengan guyuran air dingin. Sambil menunggu Asti pulang untuk berpamitan Ammar akan sarapan sambil mengenyahkan pikiran haram itu dengan membaca buku. Ada salah satu buku yang selalu menjadi favoritnya. Buku itu terletak di rak tengah yang menjelaskan tentang ilmu kedokteran menurut islam. Sebenarnya, buku itu sudah beberapa kali dibaca namun tidak pernah puas untuk Ammar terus membacanya.

Sambil duduk melihat pemandangan hiruk pikuk Jakarta dari jendela, Ammar membaca bukunya ditemani secangkir teh hangat dan roti berselai cokelat ada biskuit juga yang nanti sesekali akan dia celup ke teh hangatnya. Perpaduan yang nikmat. Ammar tenggelam dalam aktivitasnya. Melupakan pikiran yang sempat terlintas tadi.

Di awal BAB buku itu menjelaskan tentang hadist dasar kesehatan menurut islam.

Dari Usamah bin Syarik radhiallahu'anhu, bahwa beliau berkata:

Canda: Gadis Tanpa Nama BelakangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang