Chapter 4

52 3 0
                                    


🌸🍃 Hara 🍃🌸

Selama beberapa hari di akhir pekan Aron dan Clara, ibu Aron, berada di rumah Fredella. Mereka sangat ramah dan baik padaku. Selama makan malam kami bersenda gurau sehingga merasa nyaman satu sama lain.

Setelah acara sarapan pagi hari selesai, aku bersama yang lainnya menuju ruang tamu. Ruangan yang tidak terlalu besar namun tampak rapih. Beberapa gambar terpajang di sisi dinding membuatku teringat keluargaku.

"Kau ada acara hari ini?" Aku tersentak menoleh kearah Aron yang sudah menatap kearahku.

Aku menggeleng lemah. "Kurasa tidak."

Senyum merekah diwajah Aron setelah mendengar jawaban dariku. "Bisakah kita keluar sebentar?"

Aron mengajakku keluar rumah. Udara pagi langsung menyambutku dengan suasana yang sejuk. Angin berhembus pelan memainkan rambutku yang terikat kebelakang. Suara nyanyian burung terdengar samar-samar dikejauhan.

Aron berjalan disampingku mensejajarkan langkahnya denganku. Ia tampak menatap lurus kedepan tanpa menoleh sedikitpun padaku. Selama beberapa saat kami berdiam diri. Aku merasa tidak enak jika harus memulai pembicaraan terlebih dulu.

"Sudah berapa lama kau tinggal bersama Fredella?" Aron memulai pembicaraan.

Aku tertunduk memerhatikan kedua kakiku yang melangkah perlahan. "Dua hari yang lalu." Jawabku singkat. Entah aku tidak tau harus bicara apalagi.

"Apa kau tidak memiliki kontak salah seorang saudaramu?"

"Kontak?" Aku mengerjap. Sebenarnya aku tidak mengerti dengan arti kata kontak seperti yang Aron katakan padaku. "Aku hanya tau namanya."

"Siapa dia? Atau kau tau dimana ia tinggal?"

Langkah Aron terhenti saat aku dan dirinya memasuki sebuah taman kecil diujung jalan. Sinar matahari menyinari dedaunan yang hijau juga bunga-bunga yang mekar dan cantik. Laki-laki itu memutar tubuhnya menghadap kearahku.

Jarakku dengannya tidak terlalu jauh hanya sekitar tiga puluh sentimeter saja. Dari jarak sedekat ini aku bisa meyakinkan diriku bahwa laki-laki ini menatapku dengan sangat intim. Aku hanya berusaha menenangkan diriku yang mulai tidak karuan. Matanya yang kecoklatan berubah sedikit menggelap.

Entah apa yang terjadi padaku. Tiba-tiba saja aku merasa lidahku begitu kaku hingga tak sanggup mengucapkan satu patah kata pun. Tubuhku membeku dan sekali lagi aku lupa caranya bernafas dengan normal. Pada akhirnya aku hanya menggeleng lemah tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Kau baik-baik saja, Hara?" Aron menyentuh pundakku perlahan.

Aku mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja." Jawabku dengan senyum yag kubuat semanis mungkin.

"Kau butuh tambahan cemilan pagi sepertinya." Ucapnya diselingi tawa. "Ayo kita cari cemilan."

Aku tersentak saat Aron menggenggam pergelangan tanganku. Perlahan menarikku untuk ikut melangkah bersamanya. Beberapa saat mencoba untuk memahami situasi dan mensejajarkan langkahku dengannya. Seperti tidak menghiraukan kekagetanku, Aron tetap melangkah santai didepanku dengan satu tangan menggenggam tanganku dibagian belakang.

Dengan sedikit usaha yang lebih keras aku mensejajarkan langkahku dengannya. Namun selama itu pula Aron tidak juga melepaskan genggaman tangannya ditanganku. Hingga sesampainya kami pada sebuah rumah kecil yang menjual kue-kue.

"Kau suka coklat, keju atau kacang?" Aron menoleh kearahku menunggu pilihanku.

"Kacang." Jawabku tanpa berniat membalas tatapannya.

Setelah ia memilih kue yang ia inginkan, Aron membawaku ke sebuah meja kosong di bagian depan ruangan. Di sebuah teras kecil yang sudah disulap menjadi tempat makan yang berisi meja-meja kecil. Sekitar lima meja yang sudah terisi oleh minimal sepasang manusia.

Aron menarik satu kursi dan mempersilahkanku untuk duduk. Aku hanya mengangguk kemudian duduk dengan perlahan di hursi. Pandanganku berjelajah kesekeliling ruangan dan jalan yang mulai ramai. Matahari mulai meninggi dan manusia-manusia itu mulai beraktivitas.

"Apa yang kau pikirkan?" Aron memecah lamunanku.

"Hanya menikmati dunia ini."

"Aku suka sekali kesini saat aku mengunjungi Fredella. Kuenya juga enak cocok untuk tambahan makan pagiku." Aron tersenyum kearahku. "Apa kau punya saudara kandung?"

Aku mengangguk. "Dua kakak laki-laki."

"Pasti mereka sangat menjagamu dan sayang padamu ya?"

Aku mengangguk lagi. Sambil mencicipi kue yang sudah tersaji di hadapanku dan Aron. Krim susu yang lumer di dalam mulutku membuatku kaget. Beberapa isinya mengalir keluar hingga menetes ke atas meja.

"Ehhmm..." Aku panik mencari-cari kain untuk menyeka krim yang mengalir. Tapi tiba-tiba Aron dengan santainya mengeluarkan kain kecil dari saku dan menyeka krim di sekitar mulutku yang penuh dengan kue.

"Aku lupa mengatakan kue itu penuh dengan jebakan krim." Aron mengulurkan satu tangannya mengusap lembut bibirku dan ujung mulutku yang penuh krim.

"Ya. Dan sekarang meledak didalam mulutku." Komentarku dengan rasa malu.

"Kau lucu sekali. Wajahmu merah seperti cerry."

Entah apa yang membuatku merasakan panas pada wajahku. Apa hanya karena sikap Aron yang baik padaku ataukah karena kata-katanya yang mengingatkanku pada laki-laki yang selalu hadir dalam mimpiku? Berusaha menutupi perasaanku, aku hanya bisa menunduk dan berharap Aron tidak mempermasalahkannya lagi.

"Berhentilah menertawakanku." Ucapku.

Entah karena perkataanku yang salah atau hal lain Aron semakin kencang tertawa. Ada lipatan kecil di ujung pipinya membuatnya terlihat manis. Aku cepat-cepat mengendalikan pikiranku. Berusaha menjauhkan pandanganku dari menatap Aron yang terbahak -bahak karena ulahku.

"Kau sangat menyenangkan sekali Hara. Aku menyukaimu." Aron menyeka air matanya yang menetes.

Aku hanya menatapnya tak percaya. Apa yang baru saja ia katakan padaku? Ia mengatakan suka padaku dengan begitu mudahnya? Bahkan kami bertemu hanya dalam waktu beberapa jam saja. Seperti inikah sikap manusia dengan mudah merasa suka pada manusia lainnya.

"Kau bilang apa tadi?" Aku mencoba membenarkan pendengaranku

"Ada apa? Apa ada yang akan marah jika aku mengatakannya?" Aron menatapku lekat.

"Marah? Aku tidak mengerti."

"Kau benar-benar polos, cantik. Kekasihmu. Atau kau belum punya?" Aron mencondongkan tubuhnya mendekat kearahku.

Kekasih. Tiba-tiba saja aku tersentak mendengar kata-kata itu. Entah apa yang membuatku tiba-tiba memikirkan dirinya. Laki-laki yang saat ini aku cari. Aku menghela nafas berat menyadari betapa sulitnya aku untuk menemukannya. Namun ada sedikit rasa dalam hati ini yang berusaha mati-matian aku pertahankan.

"Maaf. Aku tidak bermaksud kurang ajar." Aron tersenyum. "Lupakan saja kata-kataku tadi."

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Tentu saja. Jangan malu-malu."

"Kau tau cara cepat menemukan seseorang?" Tiba-tiba aku merasa sedikit menyesal sudah menanyakan hal itu pada Aron.

Laki-laki itu tampak bingung. "Siapa yang kau cari?"

Sekali lagi aku yang merasa bingung dan terpojokkan. Aku tidak tau harus berkata apa. Jika aku katakan padanya tentang Alexi, aku takut ia akan bertanya lebih ditail tentang orang itu. Dan disaat itulah aku tidak dapat mengatakan apapun selain pikiranku yang terbayang wajah dan sikapnya.

"Temanku. Namanya Alexi." Jawabku pada akhirnya.

"Kau punya foto atau alamat rumahnya? Mungkin teleponnya?"

Dengan sangat menyesal sekali aku hanya bisa menjawab. "Tidak semuanya."

Finding Love ( New Year Eve-Part II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang