Chapter 34

18 0 0
                                    


🌸🍃 Hara 🍃🌸

Rumah makan milik Joe dan Luis mulai ramai saat waktu mulai memasuki sore hari. Anak muda mudi mulai memadati ruangan tempat makan dan memesan menu untuk makan malam.

Hari ini aku bertugas pagi hari dan waktu kerjaku berakhir saat ini. Walau sebenarnya aku bisa saja menambah jam kerja untuk membantu, tentunya Joe tidak keberatan untuk memberikan upah lebih padaku. Tapi aku berniat menemani Fredella hari ini untuk berbelanja.

"Hara, kemarilah." Aku menoleh saat Luis memanggilku.

Wanita paruh baya itu menunggu di meja kerja Joe. Aku tidak melihat keberadaan Joe sejak kemarin. Entah kemana laki-laki tua itu. Atau mungkinkah dia sedang sakit.

Aku melangkah mendekati Luis. "Ada yang bisa kulakukan untukmu?" Aku menarik kursi dan menempatkannya berhadapan dengan Luis.

"Tentu Sayang." Luis menggerakkan tangannya menyuruhku duduk. "Apa kau keberatan menyisihkan waktumu beberapa saat untuk bicara?"

Aku tersenyum. "Kenapa harus aku merasa seperti itu? Katakanlah Luis. Aku punya banyak waktu."

Wanita tua itu tersenyum senang. Ia melipat kedua tangannya diatas meja mirip seperti anak yang sedang dinasihati oleh orangtuanya. Aku menunggu dengan sabar hingga Luis kembali bicara.

"Tidak terasa kau sudah bekerja disini cukup lama. Aku berterima kasih kau bekerja dengan sangat baik."

Aku mengangguk. "Terima kasih Luis."

"Tenang saja aku tidak berniat menasihatimu apapun." Luis tertawa kecil. "Aku hanya berniat menyampaikan pesan padamu."

"Pesan? Dari siapa?"

"Oh.. sungguh ini harusnya bukan jadi urusanku." Luis menggeleng sambil tertawa lucu. Ia menatapku lalu tersenyum. Ada semburat merah diwajahnya menampakkan rasa malunya.

"Kau tau, aku merasa seperti tukang pos yang mengantar surat lewat ucapan."

"Luis.. ada apa?" Aku mulai merasa tidak sabar.

"Kau masih ingat dengan laki-laki yang sempat kesini beberapa waktu lalu? Alexi namanya." Aku tersentak tapi tidak mampu berkata-kata. "Dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Dan aku begitu mengenalnya seperti dia bagian dariku."

"Dan?" Aku mendengarkan setiap perkataan Luis dengan saksama. Menebak apa inti dari semua kata-katanya itu.

Tentang Alexi, sejujurnya aku sempat menyerah terhadapnya. Aku tidak yakin apakah aku benar-benar bisa bersabar menunggunya mengerti dan mengingat segalanya untukku. Sedangkan waktu yang Adlan berikan padaku semakin berkurang.

"Aku tidak pernah melihat dia semalu-malu itu. Sungguh. Tapi dia mengatakan sesuatu tentangmu."

"Benarkah? Kukira ia tidak ingat.. ahm.. yah. Lanjutkan saja." Aku mengutuki diriku yang hampir saja salah bicara. Tidak mungkin aku menjelaskan pada Luis tentang apa yang terjadi padaku dan Alexi.

"Awalnya dia malu untuk mengatakannya. Tapi aku tau apa yang dia rasakan. Terutama padamu." Luis menatapku lekat. "Ada sesuatu diantara kalian yang aku coba mengerti. Tapi, kalian masing-masing saling menutupi."

Luis menggeleng. "Tidak. Tidak. Aku tidak berhak berkata seperti itu." Wanita itu tertawa lagi. "Begini sayang, anakku yang satu itu beberapa waktu ini sering membicarakanmu. Mencari tau segalanya tentangmu. Dari mana kau berasal? Tinggal dengan siapa? Apa yang kau suka dan banyak lagi."

Aku menatap Luis dengan ekspresi yang aneh. "Kau bercanda? Ahm.. maksudku, benarkah? Dia melakukannya?"

Luis mengangguk. "Dia melakukannya. Dan.. aku yakin kau juga akan melakukan hal yang sama."

Aku tertunduk. Rasa panas di wajahku membuatku enggan menampakkan wajahku pada Luis. Jelas saja jika wajahku kini memerah karena malu. Alexi melakukan hal yang tidak aku perkirakan. Tiba-tiba saja aku melihat sebuah titik terang di dalam penantianku yang panjang.

"Kau tak perlu malu Hara. Aku mengerti perasaanmu. Semua wanita, hampir sebagian besar mengagumi anak laki-lakiku itu." Luis tertawa bangga. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud sombong. Tapi setiap kali ia datang seluruh mata wanita itu memandanginya seperti ia sebuah caramel lezat siap santap." Luis mengarahkan pandangannya pada wanita yang bertebaran di ruangan. Mereka adalah para pelayan yang membantu Luis, seperti aku.

Aku mengerti. Dan yang terjadi padaku pun adalah sama. Seperti ia adalah titik gravitasiku yang membuatku tidak mampu menjauh. Seperti ada dinding tebal yang menyelimuti kami saat hanya berdua saja. Seperti hidupku bergantung padanya.

"Jangan khawatir. Nyatanya ia lebih tertarik padamu daripada wanita pencari perhatian seperti mereka." Luis menyentuhku. Membelai lembut pipiku dengan jari-jarinya. "Mungkin nanti, ia akan menemuimu secara pribadi."

Aku terdiam. Tidak bisa mengatakan apapun. Hatiku bergejolak sendiri seperti saling bersahutan. Apa yang Luis ketahui hanyalah sebagian kecil dari apa yang sudah terjadi diantara kami. Sejauh ini aku sudah beberapa kali menghabiskan waktu berdua dengannya. Tapi apa yang bisa aku lakukan saat dia tidak mengingat apapun tentangku.

Jika saat ini Alexi berniat mengenalku dan mengingat lebih keras tentangku lewat Luis. Seharusnya menjadi hal yang terdengar sangat baik. Walau rasa kecewa ini belum juga hilang.

"Lalu, bagaimana dengan Christine?"

"Chris? Ohh.. ya. Aku tidak terlalu mengenalnya. Aku pikir ia hanya teman dekat." Luis memperhatikanku. "Kau tak perlu cemburu."

Aku baru saja ingin mendebatnya tapi aku mengurungkan niatku. Sepertinya Luis tidak tau tentang rencana pernikahan Alexi dengan Christine. Ataukah Luis berpura-pura agar aku tidak merasa canggung. Tapi untuk apa Luis melakukan itu.

"Luis, tentang Alexi. Aku pikir lebih baik aku bertanya saja padamu. Aku tidak bisa bertemu dengannya dulu."

"Tidak masalah nak. Kau juga malu-malu." Luis tersenyum. "Akan ku beritau sedikit tentang anakku itu. Dia tipe orang baik. Tidak pernah berkelahi dan membuat onar. Aku pikir dia juga tidak senang bermain wanita atau minum di cafe pojok jalan.."

Aku mengangguk. Sepertinya aku tau tentang hal itu jauh sebelum aku mendengar ceritanya dari Luis.

"Dia tinggal bersama ibunya. Ayahnya pergi entah kemana. Dia menyayangi ibunya tapi sejak ibunya dengan seorang laki-laki yang usianya hampir sebaya dengannya, Alexi lebih menjaga jarak. Dulu dia sering kesini tapi sejak ia lulus sekolah dan mulai bekerja paruh waktu di pemerintahan, aku jadi merindukan kehadirannya disini." Wajah Luis berubah sedih. Ia menyeka ujung matanya yang basah.

"Dia anak terbaikku. Setidaknya ia mengisi kekosongan hidupku selama pernikahanku dengan Joe hampir 40 tahun."

"Maafkan aku Luis. Kau tidak harus menceritakan hal itu." Aku membelai wajahnya. Memeluknya erat.

"Tidak apa-apa nak. Aku sudah bisa menerimanya. Dan, ini aku punya sesuatu untukmu dari Alexi."

Luis merogoh saku celemeknya yang kotor. Sebuah amplop putih kini sudah berada ditangan Luis. Ia menyodorkan amplop itu padaku. Senyumnya begitu manis kearahku memaksaku untuk menerimanya.

"Terima kasih Luis." Ucapku. Tatapanku beralih pada amplop putih ditanganku. Pikiranku melayang menimbang-nimbang kira-kira apa isi amplop itu.

"Alexi, aku harap ini adalah isi hatimu yang jujur. Seperti aku yang selalu jujur padamu. Dan bukan lagi rasa sakit hati untuk yang kesekian kali."

Finding Love ( New Year Eve-Part II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang