Semua pasti setuju, jika suasana yang paling menyejukkan itu adalah suasana di pagi hari. Saat adzan subuh mulai berkumandang, saat perlahan waktu mulai berganti, saat gelap berubah menjadi secercah cahaya yang menerang, saat matahari keluar dari persembunyiannya dan siap terbit untuk melaksanakan pekerjaannya.
Suasana pagi ditambah dengan embun-embun dingin yang membasahi dedaunan, rumput, teras lantai serta kaca jendela.
Tentu, tidak ada yang lebih menyejukkan dari itu, dan tidak ada yang lebih mendamaikan daripada menyaksikan kejadian itu.
Tidak terkecuali bagi pemuda yang sudah beberapa menit lalu mematut dirinya di depan layar datar bening bernamakan cermin.
Dia Abyan Farel Prasaja.
Jari – jemarinya tidak henti terus merapikan gel di rambut fringe miliknya. Sangat terlihat tampan dengan wajah square dilengkapi dengan mata almond serta manik berwarna kecoklatan miliknya.
Ia menghembuskan nafasnya pelan setelah berhasil membuat rambutnya menjadi sempurna. Tangannya menyambar sebuah handuk untuk membersihkan sedikit minyak di tangannya. Ia berbalik meraih Jacket Varsity berwarna biru tua dengan garis putih di bagian tangan. Memakainya hingga menutupi kaos polos berwarna putih yang ia kenakan.
Kedua bola matanya tampak berkeliling, melihat isi kamar yang sudah tidak lagi berantakan. Tidak ada lagi baju-baju yang berada di setiap tempat, tidak ada lagi bantal-bantal yang terjatuh di lantai, tidak ada lagi buku-buku yang berserakan di meja.
Lebih tepatnya, kamarnya tampak kosong sekarang. Menyisakan lemari, ranjang, bantal-bantal yang sudah tertata rapi, meja belajar dilengkapi dengan lampu kecil di sampingnya.
Abyan tertegun, matanya terfokus pada salah satu bingkai foto kecil di atas ranjangnya. Fotonya bersama bunda. Dia yang memegang gitar, dan bunda yang menciumnya. Tampak senyum miris terangkat di sudut bibirnya saat Abyan mengambil foto tersebut dan memasukkannya ke dalam tas polo yang sudah siap dengan barang-barang lainnya.
Matanya kini beralih pada jendela kaca menghadap taman belakang yang terbuka. Tampak tirai-tirai yang berterbangan karena ulah angin dari cuaca pagi yang tidak cukup bersahabat ini.
Perlahan Abyan menutup rapat jendelanya.
Lalu beralih membuka pintu yang akan langsung menuju ke taman belakang. Di sana Abyan mendekati sebuah sangkar burung Kenari yang tergantung. Tangannya dengan lembut membuka sangkar tersebut lalu mengambil satu Burung Kenari yang tampak sangat menurut padanya.
Dia mengelus puncak kepala burung tersebut dengan sangat lembut, terlihat sangat tulus, bahkan seekor burung Kenari pun dapat merasakan ketulusan itu.
"Terbanglah." suara beratnya terdengar seiring dengan tangannya yang mulai melonggar melepaskan Sang Burung pada dunia yang lebih bebas.
Seringai kecil kembali terlihat di ujung bibirnya, sebelum dia beranjak cepat, menyambar tas polo di ranjang lalu meyampirkan di satu tangannya dan mulai keluar dari kamar yang mungkin tidak akan pernah dia datangi lagi.
***
Beralih dari sebuah kamar, Abyan kini benar-benar melangkah keluar dari rumah minimalis berwarna abu-abu putih yang selama 8 tahun menjadi saksi dari kesedihan dan kebahagiaannya. Ia sedikit berbalik melihat beberapa orang yang sudah memasang palang bertuliskan 'RUMAH INI DIJUAL.'
Tidak lama, Abyan kembali melanjutkan langkahnya. Mendekati seorang pria berumur sekitar 40an yang sedang memasukkan sebuah koper ke dalam bagasi mobilnya.
Pria itu tersenyum saat melihat kehadiran Abyan. Setelah menutup bagasi mobilnya, ia lantas membuka pintu belakang sebelah kanan untuk Abyan. Layaknya seorang pelayan yang membukakan pintu pada tuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...