"Anak ini juga terluka Al, kau tidak sadar itu? Sampai kapan perang dingin ini terjadi? Dia bahkan tidak pernah meminta untuk hadir di dunia ini. Dia hanya terlahir karena sebuah kesalahan. Lalu apa karena itu dia harus ikut bersalah? Karena kesalahan orang lain, haruskah dia yang menanggung semuanya? Dia sudah cukup menahannya selama ini. Kebencian orang-orang, makian-makian mereka, tidak bisakah dia mendapatkan sedikit tempat saja di hati kita."
"Aku tidak memintamu untuk menerimanya, cukup jangan terlalu mengacuhkannya. Hanya itu. Abyan tidak pernah meminta apapun, saat dia terluka bahkan hanya kamu yang dia pikirkan. Tidak bisakah itu menjadi alasan untuk kamu menghilangkan sedikit kebencian itu?"
"Aku sangat tau, jika ini juga sangat menyakitimu. Tapi Al, kau hanya belum sadar. Apa yang kau lakukan saat ini, bukan kebencianmu yang sebenarnya. Kebencianmu ada pada wanita itu, ibunya. Dan apa yang kau rasakan pada Abyan saat ini bukanlah sebuah kebencian. Anak itu hanya menjadi pelampiasan dari rasa bencimu."
Alvi mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya, mengisi kesunyian di ruangan ini. Ia menyandarkan tubuhnya dengan mata yang terpejam. Perkataan Ziya seakan berputar di otaknya secara terus menerus dan hal itu sangat mengganggunya.
Seakan perkataan itu menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan pertahanan Alvi. Sebuah kebenaran dan sebuh keegoisan bercampur menjadi satu saat ini. Alvi menyetujui apa yang dikatakan Ziya melalui otaknya, tapi hatinya menolak untuk itu. Menolak dan berakhir menyakitinya.
Alvi menghembuskan nafasnya perlahan lalu membuka matanya seiring dengan ketukkan jari telunjuknya yang terhenti.
"Sampai kapan aku harus menunggu?"
Alvi mengalihkan pandangannya, menatap Daffa yang telah menunggunya sejak tadi. Pemuda itu tampak jengah, dengan tubuhnya yang sudah bersandar di sofa dan kedua kakinya yang bersanggah di atas meja. Ia menatap tajam ke arah Alvi, meminta penjalasan disana.
"Apa hanya karena ini kau memanggilku Pak Komisaris? Menunggumu tidur dan mengabaikanku disini?" dengusnya kesal.
"Aku tidak menyuruhmu menunggu," ketus Alvi kembali mengalihkan pandangannya.
"Baguslah, aku akan pergi sekarang." Daffa bangkit dengan wajah kesalnya. "Tapi setidaknya aku ingin memberitahukan ini. Kau tau jika Ramon sudah kembali ke Indonesia kan? Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
Alvi mendesah. "Jangan terburu-buru. Kita hanya akan menjadi bahan permainannya jika bertindak tanpa rencana. Aku akan menunggunya menghubungiku."
Alvi menatap lurus dengan sorot mata tajamnya, membuat Daffa hanya menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat.
"Ramon memulai bisnisnya disini. Dia hanya seorang anak penyelundup minuman keras dulu. Hidupnya sangat bebas, ia bermain dengan siapapun yang dia inginkan. Hingga dia menjalankan bisnis perdagangan ini." Alvi kembali mengalihkan pandangannya menuju Daffa. "Dia membangun istana kecil untuk perdagangan itu, istana pertama yang membuatnya menjadi besar seperti ini. Tugasmu sekarang, cari tau tentang tempat itu. Semua orang-orang yang bekerja di dalamnya dan semua orang-orang yang terlibat. Termasuk para detektif yang menyelidikinya."
"Kita hanya perlu mencari para detektif itu. Kita bisa mendapatkan informasi mengenai tempatnya dari mereka. Itu mudah kan?"
Alvi menggeleng pelan. "Mereka menutup mulut rapat-rapat. Sejak kasus ini di tutup, tidak ada satupun dari mereka yang berani untuk membuka mulut. Bahkan ketika ditanya, mereka akan lebih memilih menghindar daripada memberitahunya."
"Aneh, apa terjadi sesuatu saat itu?"
"Entahlah, karena itu kau harus menyelidikinya. Dalam waktu dekat, Ramon pasti akan datang menghubungiku. Jadi hanya tunggu sampai saat itu, sebelum kita bertindak."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...