Abyan terpaku di tempatnya berdiri, terdiam dengan sorotan tajam dari kedua bola hitamnya, masih di samping motor sport hijau yang baru ia parkirkan di jajaran motor-motor yang lain.
Sekali lagi, ini bukanlah keinginannya. Membawa motor ke sekolah sama sekali tidak pernah ia rencanakan. Setelah beberapa waktu lalu, Abyan mengutarakan keinginannya pada Ziya jika ia tidak ingin di antar Pak Beni lagi dan lebih memilih untuk pergi dengan bus atau mobil angkutan saja. Namun bukan persetujuan yang ia dapat, Ziya justru memberikan kunci motor ini padanya tadi pagi.
Wanita itu mengatakan jika ini adalah motor Alvi yang sudah lama tidak terpakai sejak Alvi di angkat menjadi Komisaris Jenderal. Karena itu, daripada sayang terus didiemin di bagasi, lebih baik Abyan yang membawanya.
Meskipun sekeras mungkin Abyan mencoba untuk menolak, namun bukan Ziya jika tidak keras kepala. Bahkan wanita itu bilang, jika Alvi sendiri yang mengijinkan. Kalimat dusta yang cukup mampu untuk membuat Abyan merasa cukup senang, tidak perduli jika ini adalah kebohongan. Setidaknya itu memang sedikit benar, Ziya yang meminta izin dengan wajah memelasnya, ia memohon sehinggal Alvi mau tidak mau mengizinkannya. Dan lagi, bukan hanya itu, Ziya pun mengancam jika ia tidak akan memberi Abyan uang, jika adiknya itu masih ngotot untuk naik bus.
Dasar wanita!
Terlepas dari kejadian tadi pagi, saat ini bukan itu yang dipikirkan Abyan. Dengan posisinya, ia masih terdiam disana. Menoleh sembari mengedarkan pandangannya pada sosok Tristan yang baru saja meninggalkan area sekolah. Lalu kembali beralih menatap Cahaya yang sedang berjalan dengan senyum kecilnya. Mengundang sapaan dari setiap murid laki-laki yang bertemu dengannya.
Bermacam-macam pujian mereka lontarkan, membuat Abyan harus mendengus dengan sedikit tawanya. Lalu dengan cepat berlari mengejar langkah Cahaya dan sedikit menyenggol lengan gadis itu, saat ia sudah berhasil mensejajarkan langkah mereka.
"Byan –" gumam Cahaya menunjukkan kedua lesung pipinya.
"Enak ya, pagi-pagi udah di puji sama banyak cowok." Abyan sedikit melirik dengan senyumnya dan kedua tangan yang di masukkannya ke dalam saku.
"Di puji doang apa enaknya?" Cahaya terkekeh sembari menggeleng. Tidak ada perkataan di antara mereka. Mereka hanya saling bertukar senyum sembari terus berjalan menyusuri koridor sekolah.
"Tapi By, kenapa lo lewat sini?" Cahaya menghentikan langkahnya sambil melirik Abyan yang menatapnya canggung. Bagaimana tidak, Abyan sadar saat ini ia mengikuti Cahaya yang sudah berbelok ke arah kanan padahal kelasnya berada di arah sebaliknya.
"Ehh – Kenapa? Gue mau ke kantin kali Ca. Jangan GR," dustanya mengambil langkah lebih dulu dari Cahaya. Membuat Cahaya menatap bingung punggung Abyan yang berada di depannya, sebelum tangannya terulur untuk menahan lengan pemuda itu yang sontak membuat langkahnya seketika terhenti.
"Lo nggak sakit kan By?" Cahaya menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa emang?"
"Nggak, rada aneh aja. Nggak ada yang salah sama otak lo kan?"
"Sembarangan," Abyan mendelik sembari menepis pelan genggaman Cahaya di lengannya. "Gue bener-bener laper Ca, gue belum makan. Gue nggak bakal nganter lo ke kelas juga kali. Kayak nggak ada kerjaan aja. Kalo lo cewek gue, itu mungkin."
Stupid!!!
Abyan terdiam, seakan sadar dengan apa yang ia ucapkan. Kenapa kata-kata bodoh itu harus keluar? Kenapa harus kata itu?
Abyan memutar bola matanya, berusaha mengatur detak jantungnya saat Cahaya memberikannya tatapan seintens mungkin. Bahkan Abyan tampak menelan ludahnya perlahan, saat ia merasakan kecanggungan di antara mereka mulai tercipta.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...