The Fact of Story - 20

844 94 20
                                    


Aline berjalan gontai, ini menjadi pagi yang buruk untuknya. Tidak – bukan hanya untuknya, tapi untuk yang lain juga – mungkin? Ia berjalan dengan pandangan kosong, sesuatu benar-benar mengganggunya. Berulang kali ia menghela nafasnya, mencoba untuk berpikir dan berpikir. Tapi semuanya sia-sia. Nyatanya ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih saat ini.

Ia dikelilingi dengan bisik-bisik penghuni di Pelita Harapan. Banyaknya sindiran dapat ia dengar jelas keluar dari setiap mulut mereka. Tidak hanya itu, bahkan Aline dapat melihat tawa sinis yang mereka lontarkan padanya.

Ini salah, tidak – ini tidak benar.

Aline meremas erat kertas putih yang ada di tangannya. Ia berjalan cepat, sangat cepat lalu berlari menyusuri koridor ini. Berusaha untuk melenyapkan bisikan-bisikan yang mengganggunya, berusaha untuk tidak memperdulikan sindiran-sindiran serta tawa-tawa sinis mereka.

Nafasnya memburu, Aline mengedarkan pandangannya saat ia sudah berada di lapangan. Ia menghela nafas lega, lalu kembali berjalan cepat saat melihat Arkan dan Nesya yang baru saja datang.

"Wow – olahraga pagi Lin?" Nesya terkekeh melihat keringat yang sudah memenuhi dahi sahabatnya itu.

"Lo sudah tau?" tanya Aline langsung dengan tatapan tajam yang tertuju pada Arkan. Nesya mengernyit begitupun dengan Arkan yang tampak bingung dengan pertanyaan tersebut. sampai akhirnya Aline menyerahkan kertas putih lusuh akibat remasannya tadi.

"Wirandi Prasaja --- Abyan adalah anaknya?"

Nesya mendelik, seketika ia menyambar kertas lusuh itu dari tangan Aline dan membaca tulisan yang tertera disana.

'Abyan Farel Prasaja adalah anak kedua dari Jenderal Wirandi Prasaja. Anak hasil perselingkuhannya dengan seorang wanita malam. Anak haram yang hadir di dalam keluarga Prasaja'

Nesya beralih menatap Arkan dengan keterkejutannya. Berharap mendapatkan penjelasan dari mulut Arkan mengenai pernyataan ini.

"Siapa yang membuat ini?" tanya Arkan tegas.

"Apa itu penting sekarang? Lo tau? Kertas ini sudah disebar di setiap kelas. Semua orang sudah mengetahuinya."

Arkan menggeram, ia mengepalkan kedua tangannya erat. Saat itu – saat dimana Abyan memberitahukannya pada Arkan. Saat mereka berada di atap gedung waktu itu. Seseorang pasti mendengarnya, seseorang yang menyebarkan hal ini pasti telah mendengar pembicaraan mereka waktu itu.

Arkan hanya melemparkan tatapan bersalah pada kedua gadis yang ada di dekatnya. Lalu dengan cepat tanpa mengatakan apapun, Arkan berlari masuk diikuti dengan Aline dan Nesya yang masih berkecamuk dengan kebingungannya.

Sebisa mungkin Arkan mengatur nafasnya saat ia memasuki kelas. Mencoba mengedarkan pandangannya pada kursi yang biasa ia duduki bersama Abyan. Arkan tertegun, saat ia hanya melihat tas Abyan tanpa Abyan disana. Ia beralih menatap Nesya dan Aline dengan sendu di belakangnya. Seakan mengatakan jika Abyan sudah datang dan tentu saja anak itu juga pasti sudah mengetahui tentang hal ini.

"Jadi Byan itu anak Pak Wirandi. Wuah – kenapa kita nggak kepikiran ya? Padahal nama belakang dia ada Prasaja-nya kan?"

"Pantesan, anak itu selalu menghindari untuk berteman sama kita. Ternyata ada rahasia yang dia sembunyikan."

"Gue nggak yakin, kenapa tuh anak bisa yakin banget ya untuk masuk ke sekolah ini?"

"Dia pikir, mungkin dia pantes karena dia anaknya Pak Jenderal. Padahal cuma anak haram aja bangga."

Arkan mendengus, ini memuakkan. Tawa dan sindiran mereka membuat aliran darahnya memanas. Arkan melirik dengan ekor matanya saat sebuah tangan menyentuh pundaknya.

The Fact of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang