"Ayo kita hentikan semuanya Wira." Cahaya menghentikan langkahnya tepat di belakang Wira. Membuat pemuda itu berhenti dan berbalik dengan tatapan dinginnya.
"Kita putuskan semuanya sekarang. Gue bener-bener nggak bisa menerima pertunangan ini."
"Jangan bodoh Ca! Lo nggak akan bisa menghentikan ini meskipun lo ingin. Bahkan gue sekalipun."
Wira melangkah semakin dekat pada Cahaya. "Gue nggak berniat untuk denger omong kosong lo lagi. Gue nggak berniat untuk mengerti kisah cinta konyol kalian. Sekarang lo yang harus putuskan semuanya, memilih Abyan berarti lo akan kehilangan dia selamanya."
Cahaya meremas roknya dengan erat, ia menggigit bibir bawahnya dengan tatapan sinis yang tertuju pada Wira.
"Gue nggak bercanda Ca, gue udah peringatin sama lo, kalo gue udah cukup bersabar selama ini. Lo pikir lo akan menang? Lo pikir lo akan berhasil dengan hubungan itu? Nggak ada yang mendukung hubungan kalian Ca, bahkan Bokap dan Abang lo sendiri. Bagaimana lo bisa seyakin itu? Ada waktunya lo harus mengalah dengan keadaan. Keegoisan hanya akan membuat lo kehilangan sesuatu yang lebih besar."
Cahaya menatap Wira dengan air mata tergenang. "Gue masih mencoba mengatakan ini dengan baik-baik. Gue akan memaafkan lo dan anak itu jika kalian mengalah sekarang."
"Apa lo akan seperti ini sampai akhir? Lo nggak mencintai gue Wira. Lo hanya ingin memiliki gue. Gue nggak bisa bersama orang yang hanya ingin memiliki gue tanpa mencintai gue sepenuhnya."
"Apa yang lo tau? Lo hanya menepis perasaan gue Ca. Itu karena lo sangat mencintai dia kan? Apa yang gue lakuin, akan selalu salah di mata lo. Sejak awal, lo selalu berpikir gue buruk. Karena itu lo membenci gue. Dan rasa benci itu yang buat lo semakin jauh."
"Itu bukan salah gue Wir. Lo yang membuat semuanya menjadi seperti ini. Bahkan gue belum mempunyai perasaan apapun pada Byan saat pertama kali lo dateng. Gue bisa aja menyukai lo lebih dulu, jika lo bersikap lebih baik."
Wira menggeleng cepat. "Lo salah! Lo sudah menyukai anak itu sejak awal. Lo sudah membenci gue, sejak kita pertama bertemu di bandara, karena hanya anak itu yang berada di pikiran lo saat itu."
Cahaya terdiam dengan napas tercekat. "Kenapa lo masih memaksakan semuanya kalo lo tau hal itu? Kenapa lo masih berusaha keras untuk membuat gue menjadi milik lo, jika lo tau semuanya? Apa yang lo lakuin, hanya berakhir dengan nyakitin gue. Sedikitpun, gue nggak pernah merasakan jika bersama dengan lo gue bisa tenang. Justru gue selalu merasakan ketakutan itu. Jadi, gue mohon. Lo satu-satunya orang yang bisa menghentikan pertunangan ini."
"Lo yang membuat gue jadi seperti ini Ca. Seharusnya lo nggak pernah menerima pertunangan ini. Seharusnya lo menolaknya sejak awal. Seharusnya lo menghindar saat kita akan bertemu di bandara. Semua sudah terlambat. Gue ataupun lo, nggak akan ada yang bisa menghentikan pertunangan ini. Jadi, ambilah keputusan. Tinggalkan anak itu, atau lo akan ngeliat dia menderita selamanya."
Cahaya menatap dalam Wira dengan penuh kebencian.
"Lo nggak ada pilihan Ca. Pada akhirnya, lo akan menyakiti dia nantinya. Perjuangan kalian akan sia-sia."
"Lo nggak akan bisa melakukan apapun padanya. Nggak akan pernah bisa."
"Gue bahkan bisa membunuhnya, jika gue mau."
Wira semakin mendekatkan jaraknya pada Cahaya. Mencengkram rahang gadis itu dengan kuat seakan meyakinkan jika dia tidak sedang bercanda saat ini.
"Gue nggak punya waktu untuk menunggu. Jadi, jawab sekarang. Tinggalkan dia – atau tetap bersamanya. Gue akan melupakan semuanya kalo lo memilih untuk meninggalkan dia. Gue bahkan nggak akan membahas apapun lagi. Gue janji, gue bakal ngelakuin yang terbaik buat lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...