Alvi tersentak, ia menyandarkan tubuhnya tepat saat pintu ruangan terbuka tanpa ada ketukan terlebih dulu. Ia menghela napas pelan saat Daffa masuk dengan napas yang terengah-engah.
"Kau sedang berada di ruangan Komisaris Jenderal. Kau tidak ingat itu?" Alvi memicingkan matanya dengan kedua tangan yang di lipat. Tampak tegas dengan raut wajah kerasnya. Menatap sengit Daffa yang hanya tersenyum mendengar amarahnya.
"Aku tidak perduli. Kau tidak tau aku sangat senang sekarang? Rasanya ini pertama kalinya aku masuk ke dalam Departemen Kepolisian. Rasa senang seperti itu, bahkan lebih. Seperti saat aku melihatmu lari ketakutan dikejar Banci? Kau ingat? Kau bahkan terjatuh saat itu."
"Heyyy!!!"
Daffa tertawa lepas. "Seorang Komisaris Jenderal takut pada Banci. Bagaimana jika orang tau itu? Tubuhnya akan berkeringat, wajahnya akan memerah jika dia melihat satu makhluk itu." Daffa menggeleng pelan. "Aaahhh – harusnya aku merekammu saat itu."
PLAKKK
Daffa memejamkan matanya seketika. Menggigit bibir bawahnya seraya menahan sakit bagian kepalanya yang baru saja dilemparkan sesuatu oleh Alvi. Lelaki itu menunduk untuk mengambil pulpen yang sudah menggelinding di bawah kakinya.
"Aku anggap kau membuangnya dan ini untukku," ucapnya yang langsung memasukkan pulpen tersebut ke dalam saku.
"Kau di lamar anak orang?" Alvi tersenyum sinis saat Daffa sudah kembali menatapnya.
"Ck!!! Itu musibah namanya."
Alvi menggeleng pelan. Susah memang, membicarakan wanita pada seorang Daffa tidak akan pernah berujung manis. Lelaki ini selalu menghindari semua masalah yang berkaitan dengan wanita. Terkadang Alvi berharap ada wanita gila yang datang ke dalam kehidupan Daffa dan mampu meluluhkan hatinya.
"Katakan apa itu?" Alvi menaikkan sebelah alisnya dengan kedua tangan yang masih di lipat di dada.
"Aku menemukannya. Istana pertama yang dibangun Ramon serta orang-orang yang pernah terlibat di dalam penyelidikan bersama Pak Wirandi."
Alvi mendelik. Ia menegapkan tubuhnya dari sandaran kursi sembari tersenyum tipis dengan tatapan tajamnya.
"Makassar. Tempat itu ada disana. Dan orang-orang yang menyelidikinya. Mereka sudah tidak ada di jakarta lagi. Setelah mereka memutuskan keluar dari kepolisian, mereka menetap di daerah masing-masing. Jadi – haruskah kita berburu sekarang? Apa yang akan kau lakukan?"
"Tidak untuk sekarang?"
"Apalagi? Kita sudah mendapatkan semuanya. Tidak ada waktu yang lebih tepat daripada ini."
"Apa Ramon tau kau sudah mengetahui itu?"
"Kami mengerjakannya secara bersih."
"Karena itu, tidak ada alasan untuk kita terburu-buru. Siapkan semuanya, rencana dan apa saja yang akan kita cari. Kita akan kesana setelah semuanya sudah disiapkan."
Alvi menautkan kedua tangannya. Menatap lurus ke depan dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya. Begitupun dengan Daffa. Pemuda itu menghela napasnya seraya mengangguk pelan menyetujui perintah Alvi.
***
Aline menguncir rambutnya asal saat ia keluar dari toilet. Gadis itu menghusap kedua tangannya yang basah lalu membungkus wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berharap jika hal ini dapat sejenak menyegarkan dirinya dari kejadian melelahkan yang ia lewati pagi ini.
Hembusan napasnya pelan seiring dengan dirinya yang mengingat bagaimana Tristan dengan brutalnya memukul Abyan tanpa henti tepat di depan matanya. Dan yang lebih menyebalkan untuknya, bagaimana bisa ketiga temannya itu hanya diam tanpa melakukan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...