The Fact of Story - 27

793 80 46
                                    


Cahaya menggigit bibir bawahnya dengan senyum yang terpancar. Di bawah penerangan lampu yang tidak seberapa ini, ia merebahkan tubuhnya. Menatap layar ponselnya tanpa beralih sedikitpun. Senyumnya semakin terkembang, menampilkan kedua lesung pipi yang mempermanis senyuman itu.

Sedikit tawa ringan mulai terdengar saat Cahaya memperhatikan satu persatu foto yang menampilkan ulah Panji dan Abyan di layar ponsel itu. Ada Panji yang sedang memasang wajah marah, ada Abyan yang menjulurkan lidahnya, mereka berdua yang sedang bermain ular tangga bersama, Abyan yang menggendong Panji di pundaknya. Bahkan Cahaya sendiri pun sempat berfoto bersama mereka berdua, bersama Ziya dan bersama Abyan – hanya berdua.

Terakhir, tawanya semakin terdengar saat ia sempat mengabadikan dimana Panji dan Abyan tertidur pulas. Ia juga sempat hanya mengambil foto Abyan yang sedang tertidur dengan mulut terbuka, namun – tetap tampan menurutnya.

Bisa dikatakan, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuknya. Ia tidak pernah merasa sebebas ini sebelumnya. Senyumnya terus merekah saat ia mengingat moment-moment indah tadi siang.

Namun senyum itu perlahan memudar, saat Cahaya mengingat satu moment dimana Alvi tiba-tiba hadir di antara mereka. Alvi datang dengan wajah dinginnya, menatapnya dan Ziya secara bergantian. Lalu Abyan dan Panji yang sedang tertidur. Tidak ada ucapan atau sapaan apapun darinya. Alvi langsung berlalu pergi yang dengan cepat diikuti oleh Ziya.

Cahaya mendesah pelan saat mengingat sorot mata tajam yang dilemparkan Alvi pada sosok Abyan. Jelas! Ada kebencian disana. Ketidaksukaan yang tersirat di garis-garis wajahnya. Entah ini hanya perasaannya saja atau Cahaya yang masih belum mengerti arti dari tatapan Alvi.

Cahaya menghembuskan nafasnya kasar seraya menoleh ke arah pintu yang sudah setengah terbuka dan memperlihatkan sosok Tristan yang berdiri di ambang pintu.

Wajahnya berubah datar kini, dengan cepat Cahaya mengunci layar ponselnya lalu bangkit dan duduk seraya terus menatap Tristan yang perlahan mendekat ke arahnya.

"Tadi siang Wira menjemputmu, tapi kamu tidak ada," ucap Tristan pelan yang sudah mengambil posisi duduk di tepi ranjang Cahaya.

"Aca pergi sama Aline. Lupa kasih tau dia."

Tristan mengangguk mengerti.

"Jika nggak ingin dijemputnya, kamu bisa minta jemput Abang."

"Aca kira Abang udah nggak mau jemput lagi."

"Ca, Abang tau ini berat. Tapi nggak salah kalo kamu mencobanya kan?"

"Mencoba apa Bang? Menerima dia? Apa dia mengatakan sesuatu?"

Tristan menggeleng pelan. "Abang hanya bertanya padanya tentang kamu yang kemarin pulang sambil nangis. Dan dia jawab, katanya dia ngajak kamu ketemu sama temen-temennya tapi mungkin kamu nggak nyaman tentang hal itu."

Cahaya tertawa miris mendengarnya. Tidak nyaman? Tentu – gadis mana yang akan nyaman jika ia mendapatkan perlakuan kasar seperti itu. Bukan karena teman-temannya melainkan karena lelaki itu. Cahaya mendesis dengan senyum tipisnya.

"Anggap saja gitu, teman-temannya cowok semua Bang. Aca risih."

"Cuma karena itu kamu nangis?"

Cahaya terdiam, menatap dalam Tristan cukup lama lalu tertawa pelan. "Aca terlalu sensitif kemarin."

"Kamu nggak nyembunyiin sesuatu dari Abang kan?"

"Apa yang bisa Aca sembunyiin Bang? Abang selalu tau semuanya." Cahaya bangkit, beranjak dari ranjangnya menuju ke meja rias. "Tapi --- sayangnya meskipun Abang tau, Abang nggak bisa melakukan apapun kan?" sindirnya kini yang sudah duduk di depan meja rias.

The Fact of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang