The Fact of Story - 37

786 67 9
                                    

Abyan mengendap perlahan, mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan Panji dan Ziya di kamar bocah kecil itu. Ia berdiri di ambang pintu sembari memicingkan matanya saat melihat keduanya yang sedang tertawa kecil – entah apa yang sedang mereka lakukan disana.

Abyan kembali mengendap, kini langkahnya semakin masuk ke dalam kamar itu dan perlahan menutup pintu tanpa suara yang terdengar.

"Heemm.." gumamnya dengan senyum kecil, membuat Panji dan Ziya segera menoleh ke arahnya.

"Om Byan –" pekik Panji yang segera turun dari ranjangnya.

"Ngapain sih?" Abyan mengangkat sebelah alisnya saat Panji kini sudah menarik tangannya untuk mendekat pada Ziya.

Wanita itu hanya tersenyum menatapnya, lalu beranjak dari ranjang Panji dan memperlihatkan apa yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan antara dirinya dan Panji.

"Ta-daaa." Panji tersenyum lebar menunjukkan sebuah lukisan berukuran cukup sedang berada disana. Lukisan seorang anak 8 tahun yang bermain dengan imajinasinya sendiri. Lukisan sebuah keluarga yang diharapkan oleh bocah kecil itu. Ada Wirandi, Alvi, Ziya, dirinya dan Abyan disana.

Abyan tertegun, senyumnya sirna perlahan saat melihat lukisan itu. "Ini – kamu yang membuatnya?" tanya Abyan perlahan.

Panji mengangguk cepat. "Lusa nanti Papa ulang tahun. Dan Panji akan memberikan ini untuk Papa. Gimana? Bagus nggak Om?"

Abyan masih terdiam di tempatnya. Bukan karena lukisan itu. Tapi lebih tepatnya apa yang tergambar di dalam lukisan itu. Bagaimana anak itu memberikan lukisan itu pada Alvi disaat Panji juga menggambar Abyan disana. Alvi pasti tidak akan suka tentunya.

"Di sekolah, kami punya guru lukis baru. Lukisannya bagus-bagus banget. Karena itu Panji minta ajarin untuk buat ini."

Abyan tersenyum simpul kini, mencoba untuk senang di hadapan bocah kecil itu meskipun di sisi lain Ziya sangat tahu apa yang sedang di pikirkan Abyan.

"Kalo gitu Om bisa minta ajarin kamu dong. Ini bagus – atau jangan-jangan kamu mau jadi pelukis juga?"

"No!" jawaban Panji cepat. "Ngelukis itu capek ternyata. Tapi karena ini untuk Papa, capeknya jadi hilang."

Abyan kembali tersenyum simpul. Ia duduk di sisi ranjang Panji perlahan, mengulurkan tangannya untuk meraba lukisan itu. Lukisan yang sangat indah untuknya. Andai apa yang digambarkan di dalam lukisan itu benar-benar terjadi. Mungkin Abyan tidak akan merasa seresah ini.

"Kenapa kamu menggambar ini? Om cuma mau tau alasannya," ucap Abyan menatap Panji.

"Karena kita adalah keluarga. Bagi Panji tidak ada yang lebih penting daripada keluarga. Dan – inilah keluarga Panji. Ada Kakek, Papa, Mama dan Om." Panji tersenyum lebar yang juga dibalas oleh Abyan. Pemuda itu mengangkat tangannya lalu menghusap pelan puncak kepala Panji. Pandangannya kembali tertuju pada lukisan itu.

Indah --- Abyan menghela napasnya pelan. Apa yang digambarkan Panji di dalam lukisan itu benar-benar membuatnya kembali berharap.

***

Nesya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi seraya melipat kedua tangannya dan menatap sinis Aline di hadapannya – itupun yang dilakukan Cahaya saat ini. Sedangkan Arkan dan Abyan justru sedang asik menikmati makanan yang mereka pesan di rumah makan ini.

Mereka berdua semakin menatap tajam Aline yang tampak terus menunduk. Gadis itu benar-benar pembuat masalah kali ini. Bagaimana bisa dia mengatakan kalau dia tidak mempunyai hubungan apapun sama Radit. Tapi nyatanya sekarang, gadis gila itu justru membawa Radit untuk berkumpul bersama mereka. Tidak! lebih tepatnya saat ini Radit tengah bergabung bersama mereka di dalam satu meja yang sama.

The Fact of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang