Butuh waktu lama untuk menunggu kebahagiaan itu hadir dan kesedihan pergi. Tapi hanya dalam sekejab untuk membuat kesedihan itu kembali merenggut kebahagiaan.
'Sudah sewajarnya mencintai harus terluka. Tanpa luka, itu tidak bisa disebut Cinta.' – Abyan Farel Prasaja
***
Dengan napas tersisa dan dengan kesadaran yang minim. Abyan dapat melihat setitik Cahaya yang masuk menuju manik coklatnya, ia dapat mendengar suara riuh semua orang yang mungkin terkejut melihat keadaannya saat ini. Pemuda itu sempat melirik ke sisi tubuhnya, beberapa perawat tampak terburu-buru dengan napas yang memburu, mereka terus berlari sembari mendorong blankar yang kini membawa tubuhnya. Tatapannya terhenti pada satu orang, disana --- Arkan berlari dengan seluruh kekhawatirannya.
Abyan tersenyum, sebelum ia kembali menutup matanya.
#
"Aca – terjadi sesuatu pada Abyan."
Cahaya berjalan gontai. Sebuah panggilan dari Aline seakan menjadi pukulan hebat untuk dirinya. Ini bahkan lebih sakit dibandingkan sang Papa yang lebih memilih Wira daripada dirinya, ini lebih sakit dibandingkan Arya yang menutup matanya tentang apa yang Wira lakukan padanya.
Ketakutan beberapa tahun yang lalu kini hadir kembali, kilatan bayangan saat ia harus kehilang sang Mama kita berputar di kepalanya.
Cahaya menggeleng kuat dengan air mata yang mengalir. Tangannya mengepal gemetar. Langkahnya terhenti tepat saat ia melihat Arkan, Aline, Nesya, Ziya dan Panji yang menunggu cemas di depan ruang operasi.
Dia berharap ini mimpi. Tapi apa yang berada dihadapannya kini menyadarkan jika sesuatu benar-benar terjadi.
"Ca ---"
Nesya mencoba memeluk Cahaya, menenangkan gadis itu di dalam pelukannya.
"Semua akan baik-baik aja Ca."
Tangisnya pecah saat itu juga. Pertahanan gadis itu hancur seiring dengan sentuhan Nesya yang mencoba untuk menenangkannya.
Arkan hanya bisa tertunduk lemah tanpa bisa mengatakan apapun. Aline mencoba untuk memeluk Panji yang kini duduk di sebelahnya, dan Ziya – wanita itu hanya berusaha kuat saat ini. Berulang kali dia menghela napasnya seraya menggenggam erat kedua tangannya. Tidak ada air mata untuk saat ini. Ia percaya, sangat percaya jika di dalam sana Abyan pasti akan berjuang untuk semuanya.
***
Daffa membuka pintu kamar Alvi dengan napas memburu. Keringat mengalir dari dahinya seiring dengan tatapan penuh arti yang kini ia berikan pada Alvi.
"Abyan kecelakaan Al."
Alvi bangkit seketika dari duduknya dengan kedua mata yang melebar. Rahangnya mengeras seiring dengan keterjutan yang kini menghampirinya.
Ia tidak tahu apa ini.
Perasaan seperti apa ini.
Tapi yang pasti, dia merasakan sesuatu yang membuatnya hampir sulit untuk bernapas.
Alvi melangkah pasti, meraih jaketnya dengan tatapan tajam yang tertuju pada Daffa. Tidak ada satu katapun yang dia ucapkan. Lelaki itu mempercepat langkahnya dan berlalu dari pandangan Daffa. Segera mengambil keputusan untuk kembali, dan meninggalkan semua rencana yang sudah ia siapkan sebelumnya.
***
Tristan masih terdiam di posisinya. Apa yang barusan terjadi, itu bukan yang dia inginkan. Bahkan sedikitpun, ia tidak pernah memikirkan hal seperti itu untuk memisahkan Cahaya dan Abyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...