Alvi pernah berjanji sebelumnya, jika dia tidak akan melepaskan Wira apapun yang terjadi nanti. Bahkan seringkali dia mengatakan pada Daffa, jika Daffa harus mendapatkan Wira dimana pun anak itu bersembunyi.
Namun kali ini, kemarahannya benar-benar memuncak. Awalnya ia sangat lega saat mendengar Wira yang sudah kembali. Tapi, semua itu berubah saat ia mendengar perbuatan yang dilakukan Wira kali ini.
Langkahnya cepat memasuki kantor polisi tempat dimana Wira dan Ramon berada sekarang. Bahkan semua orang yang melihatnya pun, hanya bisa memandangnya tanpa berniat untuk menghentikannya.
Dengan cepat, Alvi menarik pakaian Wira, membuat pemuda itu berdiri sejajar dengannya. Napasnya memburu dengan tatapan nyalang penuh kemarahan disana.
Beberapa orang berniat untuk menghentikannya, namun seorang bawahan Daffa yang berada disana mengisyaratkan pada mereka untuk tetap diam di tempat mereka masing-masing dan membiarkan Alvi melakukan apa yang dia inginkan.
"Apa yang kau inginkan? Membunuhnya? Tidak puas kau menabraknya waktu itu, kau benar-benar ingin membunuhnya sekarang?"
Wira membalas tatapan Alvi yang juga sangat tajam tanpa penyesalan dan ketakutan disana.
"Harusnya aku benar-benar melenyapkannya hari itu," desis Wira yang sontak membuat Alvi semakin menggeram marah. Lelaki itu mencengkram erat pakaian Wira seraya mengangkat tinjunya dan berniat untuk memukul Wira saat itu juga.
Jika saja, Alvi benar-benar menggila. Mungkin Wira tidak akan selamat di tangannya saat ini. Beruntung, Alvi masih berpikir jernih. Tinjunya hanya ia biarkan menggantung tanpa sedikitpun menyentuh wajah Wira.
Alvi marah, dia membenci anak itu. Tapi kemarahannya tidak akan membuat Wira menyadari kesalahannya. Itu percuma! Pada akhirnya, tidak ada yang bisa mengerti seperti apa jalan pikiran Wira. Memukulnya, sama saja menurunkan derajat Alvi sebagai petinggi polisi.
Kali ini, Alvi hanya terus menatap Wira dengan napas memburu. Tatapannya sinis dan penuh kemarahan. Jujur, lebih dari apapun. Alvi sangat ingin menghabisi Wira dengan tangannya. Tapi, beruntung dia tidak segila itu.
Dia cukup lega, karena Abyan tidak terluka atas perbuatan Wira. Tapi, tetap saja. Dia sangat berharap keadaan Tristan akan baik-baik saja dan tidak akan ada sesuatu yang terjadi.
Ramon yang sejak tadi hanya diam, berdiri kali ini. Ia melepaskan tangan Alvi yang mencengkram erat pakaian Wira. Lelaki itu, berdiri tepat di hadapan sang putra dan menggantikan posisi Wira atas kemarahan Alvi.
"Pukul aku. Jika kau tidak bisa memukulnya. Kau bisa memukulku."
Alvi menatap tajam Ramon, ia mendengus pelan lalu mengangguk setelah itu. Tanpa menunggu lama, sebuah pukulan keras dilayangkan Alvi pada Ramon. Membuat lelaki itu tersungkur di tubuh Wira dan menciptakan luka yang kini bersarang di sudut bibirnya.
Wira berniat untuk maju, namun dengan cepat Ramon menahannya kali ini.
"Jangan lalukan apapun, cukup diam disana. Papa mohon," pinta Ramon menatap dalam Wira yang kini tampak menahan kekesalannya.
Lelaki itu kembali berdiri, menatap Alvi dengan tenang tanpa membalas kemarahan Alvi.
"Kesalahan terbesarku adalah aku pernah membencinya. Aku pernah melukainya. Tapi Ramon, sedikitpun aku tidak berniat untuk membunuh anak itu. Meskipun aku sangat membencinya, sedikitpun aku tidak pernah berniat untuk melenyapkannya. Tapi kalian?"
Alvi mendesah tidak percaya. "Aku tau ini bukan perbuatanmu, tapi perbuatan anak kesayanganmu itu. Tapi tetap saja, tidak ada bedanya untukku. Kau telah melakukan kesalahan besar Ramon. Detik ini juga, kau sudah benar-benar kehilangan anak itu. Dia – jangan pernah berpikir jika dia adalah darah dagingmu! Jangan pernah sedikitpun menyentuhnya lagi. Karena aku benar-benar tidak akan membiarkan hal itu terjadi," desis Alvi seraya mendekatkan wajahnya pada ramon.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact of Story
Teen FictionAbyan Farel Prasaja. Seorang pemuda yang hidup di atas kebencian banyak orang. Seorang pemuda yang hadir di atas rasa sakit seseorang. Terlahir melalui hubungan yang tidak seharusnya, membuat hidupnya penuh dengan cacian. Dibenci oleh lingkungan ba...