Saara's POV (Point of View)
Purpose album
Today is November 13th. OMG! Hari ini album Justin sudah beredar. Dengan cepat aku membuka aplikasi iTunes dan mengunduh album barunya.
Selagi menunggu, aku membuat kopi. Setelah itu aku kembali ke kamar untuk melihat apakah unduhan ku telah selesai atau belum.
Aku memakai handphoneku sejenak untuk menelepon Justin.
"Hellllooo Jayyybbbeee." Aku menyapanya dengan semangat.
"Who's this ... why you talking so loud." Suara Justin berubah ... dan mengapa dia sangat menyebalkan seperti ini?
"It's me Saara." Aku menjawab dengan singkat karena aku kesal.
"Oh hi Saara. I'm not Justin. I'm Rick the Sizzler. Call me Rick the Sizzler." Suaranya sangat lucu sekali dan aneh.
"Okay okay Rick the Sizzler ...," kataku dengan menekan 'Rick'. "I just downloaded your album! Can't wait to hear the whole songs!"
"What album? I can't even sing ... c'mon Saara" Ada apa dengan pria ini? Suaranya jadi sangat menyebalkan.
"Okay bye you bitch." Aku mematikan panggilan ini karena Justin sangat menyebalkan. Padahal aku sudah senang sekali ingin mendengar lagu-lagunya. Suasana hatiku jadi tidak baik. Aku mengabaikan unduhan album Justin yang sudah selesai. Akan kudengar nanti.
Aku meminum kopi yang kubuat tadi. Lalu terdengar suara ketukan pintu. Aku menaruh kopi di meja dan berjalan cepat menuju pintu.
Aku membuka pintu dan tidak ada siapa-siapa. Namun terdapat kotak hitam berada di lantai. Aku mengambil kotak ini lalu membawanya masuk. Aku duduk di kasur dan memandang kotak hitam ini. Siapa yang pagi-pagi mengirim kotak ini?
Ah aku malas memikirkannya. Aku membuka kotak tersebut dan ... aku menutup mulutku yang sudah menganga lebar. Aku mendapat kotak yang bergambarkan album terbaru Justin, Purpose. Aku membukanya dan terdapat cd, kaus, dan foto berukuran kartu pos. Mungkin ini seperti paket spesial dan terbatas dari Justin untuk penggemarnya.
Aku mengambil handphoneku dan menelepon Justin.
"Just-"
"Hello Saara ... why you call me again?" Justin memotong kata-kataku. Menyebalkan sekali.
"Are you busy?" Tanyaku ragu.
"Yes i am, Saara," jawab Justin dengan nada anehnya itu.
"Justin, i'm serious. Please quit playing with me. Are you busy or not?" Aku menghela nafas. Rasanya aku ingin menangis saja.
"I'm sorry baby. No i'm not. I'll be there in 15 minutes. Or more."
Aku melempar handphoneku ke kasur. Aku memasukkan lagi album Justin kedalam kotak itu lalu menaruhnya di bawah kasur ku. Sebenarnya apa yang barusan kulakukan? Untuk apa aku menelepon Justin? Untuk apa aku mengharapkan dia datang kesini?
Aku berjalan ke kamar mandi untuk melakukan ritual pagiku, mandi.
-
"Hey my beautiful baby." Justin mengecup pipi kiriku lalu duduk disofa. "What's wrong?"
Aku berjalan menghampirinya dan duduk di sebelahnya. "Justin ...," kataku pelan. Aku langsung memeluknya dengan cepat lalu aku menangis dipelukannya. Aku menumpahkan semua emosiku melalui air mataku. Sebenarnya aku tidak punya nyali untuk berbicara langsung padanya. Tentang perasaan ku ini. Perasaan cinta padanya. Rasa ingin memiliki. Memiliki cintanya. Namun dia belum siap untuk memulai hubungan baru. Dan disitulah masalah yang muncul di hatiku. Sampai kapan hubungan tidak jelas dan tidak berstatus ini akan berakhir menjadi sesuatu yang nyata?
Tidak ada yang tahu. Sampai saat ini aku tidak berani untuk memanggilnya 'sayang' atau panggilan manis lainnya. Karena aku ini bukan siapa-siapa dia melainkan teman. Rasanya tidak adil sekali, aku bisa berdekatan, menghabiskan waktu bersamanya, bahkan aku bisa menghabiskan malam yang panjang bersama Justin namun tidak ada hal yang spesial diantara kami. Aku menginginkan lebih. Aku ingin sekali menjadi pacarnya.
Namun aku bisa apa? Bisa menunggu sampai dia siap. Karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menunggunya. Padahal aku bisa saja menjauhinya dan dekat denga pria lain yang jelas ingin denganku. Mungkin aku bisa saja berpacaran dengan Cal. Namun tidak. Aku hanya menginginkan Justin. Hanya Justin.
"Saara what happen? Is anybody hurt you? Please tell me baby." Ya, kau yang menyakitiku Justin. Kau menyakiti perasaanku. Dengan kau bersikap manis dan selalu memperlakukanku seperti ratu. Tapi aku hanya temanmu. Tidak lebih. Mungkin belum lebih dan akan lebih. Tapi kapan? Bisa-bisa aku berpaling darimu, Justin.
Air mataku sudah tidak mengalir lagi. Aku melepaskan pelukan lalu menghapus air mata yang masih tersisa. Aku menatap Justin dalam. Aku bertekad akan menunggu pria yang berada didepanku ini.
"I ..." apa aku harus jujur padanya? "I ..." Ya Tuhan aku sangat bingung. "I just ... you know ... i'm hungry. Can we go eat?" Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan ini.
"Sure. But you still owe me an explaination." Justin berdiri lalu dia memberikan tangan kanannya untuk dipegang dan dengan keraguan yang menghantuiku - namun akhirnya aku menjadi yakin - aku menggenggam tangannya.
* * * * * *
End of Part 16. Wait for part 17!
Thanks for reading this story. I hope you give vote and comment because it really means the world to me.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're A Song To Me
FanfictionI'll wait for you, Justin. Love triangle between Justin Bieber, Saara Palvin and Calum Hood.