"Dad? Jill? Sam?" Tanyaku terkejut.
"We're here." Ucap ayah tersenyum.
"What are you doing here?"
"Forget him." Jill berkata padaku.
"Him? Who?"
"Your lover." Lalu mereka menghilang entah kemana.
. . . . . .
Aku terbangun dan langsung melihat sekelilingku. Aku dikamar dan tadi hanyalah mimpi. Ya Tuhan aku sangat merindukan mereka. Namun ini pertama kalinya aku memimpikan mereka. Dan mereka menyuruhku untuk melupakan orang yang kusuka.
Siapa? JUSTIN. Haruskah aku melupakannya? Tentu saja tidak bisa. Tapi ... kata orang tuaku begitu. Ah, itu hanya sebuah mimpi. Tidak perlu dibawa kedunia nyata.
Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke mall. Membeli beberapa baju, tas dan celana baru. Karena aku sudah bosan dengan baju-baju yang ada dilemari pakaianku.
Aku bersiap-siap untuk pergi. Namun handphoneku berdering karena Justin menelepon.
"Hey girl." Suaranya begitu semangat.
"Hey." aku hanya menjawab seadanya.
"What's your schedule for today?"
"Uh ... aku mau ke Mall. Berbelanja beberapa kebutuhanku."
"Bagaimana kalau kau ke Cleveland? Aku sangat ingin bertemu denganmu."
Aku melirik jam tanganku. "Ini sudah jam 9 pagi. Bisa-bisa aku sampai sana jam 4 sore. Dan aku tidak tahu apakah aku akan dapat tiket untuk hari ini."
"Kau langsung pergi saja kebandara. Aku sudah menyuruh orang untuk memberikan tiket padamu. Hari ini kau berangkat jam 11 dan kau akan sampai sekitar jam 6 sore. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu. Kau tinggal bersantai saja dan terbang kesini."
"Kau ini, selalu saja." Aku mengendus kesal. "Bagaimana kalau aku hari ini sibuk dan tidak bisa pergi? Padahal kau sudah memesan tiketnya."
"Kalau kau tidak bisa, biarkan saja tiketnya hangus," jawabnya santai.
"Baiklah aku akan bersiap-siap. Sampai bertemu nanti malam." Aku mematikan panggilan lalu mengambil koperku.
Justin ini kebiasaan sekali. Selalu mengajak orang mendadak. Sembari mengeluh dalam hati, aku memasukkan beberapa pakaian yang akan kubawa, lalu alat mandi, alat rias dan flatshoes serta sandal jepit untuk berjaga-jaga kalau kakiku sakit. Karena hampir setiap hari aku memakai sepatu hak.
Selesai! Aku memesan uber dan pergi menuju bandara.
-
Aku sampai di bandara Cleveland. Aku disambut dengan laki-laki berambut pirang memakai beanie, kaca mata hitam dan pakaian serba hitam dan tertutup. Saat aku mendekatinya, dia langsung menarik tanganku dan berjalan tergesa-gesa. Dengan terpaksa aku mengikutinya.
"Awh."
Kakiku keseleo karena Justin berjalan terlalu cepat dan aku susah untuk mengikuti irama kakinya menggunakan sepatu hak yang tinggi ini.
Justin yang menyadari kondisi kakiku langsung menggendongku seperti orang yang sedang pingsan atau seperti di pernikahan itu.
Dan ... sampailah kami didalam mobil. Aku langsung membuka sepatuku dan sedikit memijat kakiku.
"I'm sorry Bar. Aku takut ketahuan." Wajahnya panik.
Aku menatapnya sebentar lalu mataku kembali ke kakiku. "It's okay."
"I'm really sorry Bar." Justin menggenggam tangan kananku.
"So this is the reason you did an apology lately?" Aku mengajaknya tertawa. Namun dia masih terdiam.
"Salah satunya." Dia tersenyum dan wajah tegangnya menghilang entah kemana.
"I told you, i'll forgive you." Aku menyentuh pipi kirinya dan menciumnya.
Tak terasa kami sudah sampai di depan sebuah hotel mewah. Sudah ada beberapa paparazi yang menunggu kedatangan Justin.
Justin membuka pintu mobil lalu turun duluan. Dia membantuku untuk turun dari mobil. Aku melepas kedua sepatuku dan meninggalkannya dimobil. Saat kedua kakiku sudah menyentuh aspal yang sangat kasar ini, Justin menggendongku lagi seperti tadi saat dibandara. Dan ini mengundang banyak pertanyaan dari paparazi yang membuatku sangat pusing.
Justin hanya diam dan membawaku masuk kedalam hotel.
"You can put me down here, my gentleman," kataku saat kami sudah memasuki lobby hotel.
"No my lady. Aku akan mengantarmu sampai ke kamar." Justin tetap menggendongku menuju lift. Dia tidak menurunkanku sama sekali. Wah, dia ternyata sangat kuat.
Setelah sampai dilantai 14, kami keluar lift dan menuju ke kamar nomor 143.
Justin menurunkanku di kasur. Lalu dia meminta pelayan untuk mengambilkan baskom berisikan es batu.
"Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa minta sendiri ke pelayan." Aku menarik tangannya.
"Ini semua salahku dan aku harus mengurusmu sampai kau sembuh." Justin mengecup bibirku sebentar lalu pergi keluar kamar.
* * * * * *
End of Part 32. Wait for Part 33!
Terima kasih banyak ya yang sudah mau baca cerita ini. Dan jangan lupa memberikan vote dan komentar ya karena itu sangat berarti untuk penulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're A Song To Me
Fiksi PenggemarI'll wait for you, Justin. Love triangle between Justin Bieber, Saara Palvin and Calum Hood.