Ada perasaan aneh yang mengguyurku begitu kutolehkan mukaku ke arah kanan. Bau yang sama, bau yang telah bertahun-tahun lamanya menghilang dari semestaku. Bau aftershave bercampur keringat yang pernah menggedor-gedor relungku dulu. Bau yang membuatku terjerembap ke dalam lubang cinta monyet bertahun-tahun yang lalu.
Lalu kulihat garis di pelipisnya, deretan garis hitam yang sama. Lalu ingatanku berdesak-desakan melesak ke dalam kepalaku, berjejal sesak seperti penumpang metromini. Semuanya tumpah menjadi satu, Kamga.
"Oh, maaf, mbak," katanya sopan sambil menarik kembali tangannya.
Haha, aku meringis dalam hati. Adegan gila seperti ini biasanya hanya ada di sinema picisan, ketika sutradaranya sudah tidak punya ide apapun untuk masuk ke dalam alur ceritanya. Tiba-tiba aku merasa semua ini terlalu mengada-ada.
Mustahil ia masih bisa mengenaliku, mengingat kacamata yang kini bertengger di hidungku, dengan messy bun, rok pensil dan baju kerja yang telah kusut terkoyak-koyak kursi kerjaku dari jam 9 sampai jam 5. Aku lebih mirip seorang sekretaris versi majalah Vogue daripada anak aneh yang jatuh cinta secara sembrono di hari pertama SMP-nya.
"Eh, oh, sorry," aku tersenyum formal,"Ambil aja."
Lalu keletak-keletuk hak tinggiku terdengar seraya aku bergerak menjauh menyusuri rak-rak buku.
"Ai?" Suara itu mencegah keletuk hak tinggiku. Suaranya sudah jauh lebih berat.
Kudukku meremang, mencuat-cuat dibalik kemeja putihku. Akal sehatku menimang-nimang, entah menampik atau mengiyakan saja penggilannya.
"Kamu Ai kan?" diulanginya panggilannya.
Aku berpura-pura celingukan, menoleh kesana kemari seakan-akan namaku Kendall Jenner atau Pevita Pearce.
"Hei, kamu Ai, bukan?" tanyanya lagi sambil mengacungkan telunjuknya ke batang hidungku.
Aku terpekur di tempatku berdiri. Kulihat bayangan Rhilla di luar. Ternyata ia mengekoriku.
"Ehm, bukan," aku tersenyum jenaka. "Mungkin Anda salah orang," tampikku sambil lalu.
"Ai yang waktu SMP duduk di depan, yang akhirnya pacaran sama Adam?" desaknya lagi.
"Oh, berarti bukan. Satu-satunya nama Adam yang saya kenal itu sepupu saya, bukan pacar saya," aku berdalih lagi. Haha, sekarang aku mulai mengorek luka lama yang bahkan tidak akan pernah kering.
"Oh, maaf, soalnya kamu mirip sekali dengan teman SMP saya," tutupnya meski matanya menunjukkan ia enggan.
"Banyak orang yang mirip akhir-akhir ini. Kadang saya juga salah mengenali orang," timpalku, kemudian tersenyum dan berlalu pergi. Meninggalkan Kamga kebingungan di belakangku.
Meninggalkan cerita yang telah usang dari tahun-tahun yang telah lalu.
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
RomancePilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...