Freya dan Kamga sudah tidak semesra dulu. Aku ingat saat komputer tempatnya belajar sedang rusak, dan dia memutuskan untuk berdua denganku. Dengan sigap, Kamga menawarkan komputernya untuk dipakai oleh Freya. Setelah itu, ia mengenggam tangan Freya dengan begitu mesranya.
Sekarang sudah tidak lagi. Ia sepertinya sudah mencintai John-Dean dengan sepenuh hatinya, dan melupakan cintanya untuk Kamga yang (sepertinya) pernah tumbuh di hatinya beberapa minggu sebelum dia ditembak oleh John-Dean.
Aku hanya berharap dia akan bahagia. Toh, aku juga sudah rela jika Kamga memang memilih Freya sebagai permaisurinya. Biarlah aku menjadi orang-orang biasa yang berseliweran saat mereka sedang melambaikan tangannya bersama-sama sebagai sepasang kekasih.
Kau pasti akan berkata bahwa aku bodoh dengan tidak menyimpan fotonya. Tapi, kau sepenuhnya salah. Aku pernah menyimpan fotonya di ponselku, dan tidak ada letupan-letupan cinta yang berbusa-busa di dalam hatiku. Ya, aku mencintai jiwanya, bukan hanya fisiknya.
Aku merasa cukup senang saat akhirnya Freya sepenuhnya memilih John-Dean. Tapi, bukan berarti aku akan langsung menjadi pacarnya Kamga. Masih ada Sasha yang memiliki 90% kemungkinan menjadi pacarnya Kamga. Akhir-akhir ini, kulihat mereka makin mesra, sama seperti dulu, saat mereka masih berpacaran.
Aku hanya sering melihat mereka berbicara dengan mesranya kepada satu sama lain. Ashley sudah pindah ke Inggris, jadi, mereka terpaksa putus. Kemungkinan untuk kembali pada satu sama lain itu kecil sekali. Sainganku adalah Sasha, dan justru dialah yang terberat.
Saat istirahat, kami bermain sebuah permainan yang berbahaya. Truth or Dare. Di situ, aku baru tahu bahwa Bianca memang benar-benra pernah mencintai Kamga, sama sepertiku. Dia membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya bisa move on dari Kamga. Aku jadi tahu maksudnya membeberkan semua kebrengsekan Kamga padaku. Dia ingin aku membenci Kamga, tidak menyukai Kamga, agar nantinya, aku tidak bernasib sama dengannya. Terjerat rasa cinta tak berujung dan mendamba tak bertepi.
Aku merasa betul-betul bersalah pada Bianca karena aku sudah membencinya, padahal dia tidak bersalah. Aku hanya salah paham terhadapnya. Dia bermaksud baik, dan aku malah mengartikannya sebagai sebuah hasutan jahat. Aku memang payah...
Hari itu, aku merasa bahwa dunia masih sama seperti satu tahun lalu, saat aku masih belum merasakan cinta. Dunia ini begitu... Damai.
***
Ugh, aku benci sekali jam bubaran sekolah. Tidak biasanya aku begini. Aku hanya pernah merasakan ini sekali dalam sumur hidupku, saat aku mendapat nilai 65 pada mata pelajaran IPS-ku. Bukan pulangnya yang menyebalkan, tetapi pulangnya itu. Bayangkan saja, kertas ulangan harus ditandatangani orang tua, atau aku tidak boleh masuk ke kelas sampai tahun ajaran kali itu usai.
Aku sebetulnya sebal sekali harus melirik ke pagar. Tidak ada alasan lain selain Adam. Dia duduk di situ sambil menyeringai licik. Aku rasanya ingin muntah saja. Tangannya bersedekap di depan dada, merasa sok bos. Yaelah, baru bos geng saja sudah begitu. Apa jadinya jika dia menjadi Kapolri? Mungkin, semua pegawainya akan disuruhnya sungkeman padanya setiap pagi saat apel pagi rampung.
"Nah, lo udah siap buat jadi babu gue?" tanyanya dengan suara sengaknya.
"Mana mungkin gue siap jadi babu anak bengal kayak lo," kataku sambil memutar bola mataku.
"Ya udah, nggak gue maafin," balasnya.
"Emang minta maaf harus diukur dari babu-bauannya, ya?" tanyaku menantang.
"Bukan, tapi dari niatnya," balasnya sambil mengambil sebatang rokok. Asap rokok lagi deh...
"Ya udah, lo mau gue apa? Awas kalo lo aneh-aneh dan macem-macem. Gue bakalan laporin lo ke Komnas anak, Komnas perempuan, datengin Kapolri dan menyeret kasus lo sampe semua orang tau kalo Adam Wicaksono itu brengsek," kataku.
"Sebelum itu, lo udah gini duluan," katanya sambil menunjukkan tanda perut yang membuncit. Sialan nih anak. Untung aku sering melakukan street fight dengan kakakku saat aku masih kecil dulu, jadi setidaknya, aku tahu mana bagian vital yang harus ditendang, dipukul, dipencet, ataupun ditarik hingga membuatnya menjerit kesakitan, mengaku kalah, dan tidak berani berbuat macam-macam padaku.
"Brengsek lo. Udah, lo mau gue ngapain?" tanyaku.
"Stop bilang gue brengsek, dan senyum," katanya pongah.
Aku menuruti saja kemauannya. Tidak bilang brengsek, okelah. Tersenyum padanya, yah, tidak apa-apa lah, setahun sekali. Itu juga untuk mengencangkan lagi otot-otot senyum Miss Universe-ku (ge-er sedikit nggak papa, 'kan?). Setah itu, aku langsung melengos pergi menjauhinya.
"Eh, mau ke mana lo? Emang gue bilang udah selesai?" tanyanya songong.
"Loh, emang mau apaan lagi?" tanyaku heran.
"Lo harus manggil gue tuan kek, ndoro kek, paduka kek, apa kek," katanya sambil menghisap rokok.
"Oke, gue panggil lo 'apa'," kataku sambil tersenyum jahil.
"Nggak ada pilihan itu!" katanya jengkel.
"Ada! Tadi, lo kan bilang: tuan kek, ndoro kek, paduk kek, apa kek," kataku mempertahankan keyakinanku.
"Otak lo ketiggalan di rumah, ya?" tanyanya kasar. Sialan juga nih anak. Begini deh, kalau bengalnya sudah keluar. Ugh, aku sebal sekali.
"Yang ada juga mulut lo yang ketinggalan di toilet," kataku tak mau kalah.
"Udah deh, sekarang, lo bawain nih tas gue ke halte, temenin gue sampe bus gue dateng," katanya enteng.
"It's easy, apa," kataku, masih tetap kukuh pada pendiianku.
"Sialan lo," balasnya sambil mematikan puntung rokoknya di tanah.
***
Kukira, aku hanya disuruh menemaninya. Ternyata, ia juga menyuruhku mentraktirnya ini-itu. Untung aku tidak menjadi babu-nya selama-lamanya. Kalau iya, aku yakin aku sudah bangkrut ketka umurku 17 tahun (yang harusnya bisa kugunakan untuk membeli high-heels dan barang-barang yang akan menjadi kebutuhan primer-ku nantinya).
Akhirnya bus yang ia tunggu datang juga. Ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih sama sekali. Awas kau, Adam!
![](https://img.wattpad.com/cover/12921791-288-k447290.jpg)
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
RomancePilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...