Aku menyesap cappucino pesananku dari meja di pojok kafe sambil mencuri pandang sedikit-sedikit. Dia sudah berubah banyak sejak terakhir kali aku melihatnya di acara perpisahan angkatannya bertahun-tahun lalu.
Dia tampak serasi dengan Trudy. Berkali-kali kudengar mereka berceloteh kesana-kemari, dengan tambahan pencuci mulut berkali-kali dan lempar-melempar tissue makan yang masih baru. Trudy memang menarik. Dia lebih pantas berada di catwalk daripada stuck di dalam kantor bersama puluhan orang yang hanya menekan tuts-tuts PC sepanjang hari.
Cinta pertama memang cinta yang paling sulit dilupakan. Aku butuh waktu 5 tahun sampai bisa move on ke orang lain. Tidak bisa dibilang move on sebenarnya. Tepatnya, pelampiasan.
Aku mulai menggoyang-goyang gelasku dengan resah, begitu melihat jarum jam yang terus berdetak dan makin lama menunjukkan bahwa malam semakin larut. Aku belum merevisi tugas dari Pak Dosen kurang kerjaan. Belum juga mengerjakan pekerjaan dari Pak Angga yang selalu tertunda.
Aku akhirnya memutuskan untuk meliriknya sekali lagi.
Eh?
Apa?
Oh, tidak, tidak! Dia melihatku! Dia memergokiku! Ugh, sial, sial! Aku harus melakukan sesuatu!
Tapi apa?
Oh, ketemu!
"Pak Angga, kenapa lama sekali? Jadi, tadi kita bermasalah di bagian anggaran," kataku, begitu melihat sosok Pak Angga yang mendadak berubah menjadi malaikat di mataku. Dia menyelamatkanku. Setidaknya untuk sekarang...
Dia hanya menengok ke arahku dengan muka bloon. Aku mengarahkan mataku ke arah bangku di sebelahku, memberi isyarat untuk duduk. Dia menurut saja, dan langsung duduk.
"Oh, ya. Kita sepertinya harus memangkas dana yang di poin ketiga. Ini terlalu banyak," katanya sambil menarik selembar tissue makan dan menunjuk-nunjuk sok penting. Aku hampir meledak karena tawa.
"Mmh, oke, Pak," kataku sambil menarik pulpen dari sakuku dan mencoret-coret tissue tak berdosa itu. Lalu aku meliriik Emile, dan ternyata dia sedang memerhatikanku. Tak urung, pipiku merah juga. Rasanya panas sekali. Sebaik yang kupunya, aku tersenyum padanya, lalu kembali berpura-pura serius menghadap Pak Angga.
Aku bangkit berdiri begitu melihat mereka berdiri, kemudian pura-pura menunduk formal pada Pak Angga dan segera melencing pergi.
"Eh, Ai, lo ternyata di sini juga. Sama siapa?" tanya Trudy yang berjalan berdampingan dengan Emile.
"Habis ngebahas soal program baru yang gue usulin tadi pagi. Kata Pak Angga, itu bisa jadi pioneer bagus buat ditunjukin ke si bos besar minggu depan, jadi harus cepet dikebut," kataku, separuhnya mengarang. Aku berterimakasih pada guru Bahasa Indonesia-ku yang mengajariku mengarang. Lumayan lah, berguna di saat-saat seperti sekarang ini.
"Oh, terus, gimana? Udah sepakat?" tanya Trudy, dengan lirikan ntar-lo-harus-jelasin-ke-gue-semuanya.
"Udah, besok udah tinggal ngebahas desain, terus di kode, deh," jawabku, sambil meliriknya penuh isyarat-isyarat yang hanya diketahui oleh kami--aku dan Trudy. Sedikit-sedikit, aku mencuri pandang melihat Emile.
"Temen elo, Dy?" tanya Emile.
"Yup, temen sekantor. Asiknya, dia magang, jadi bisa diajakin nongkrong di tempat oke, gak ngurusin kerjaan rumah melulu," jawabnya. Emile memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu menatapku tepat di mata.
Great, pipiku sekarang pasti tidak beda jauh dari lampu lalu lintas tanda berhenti.
"Wah, kenalin. Gue Emile. Emile Handoko. Namanya asing, ya? Eh, Kapan-kapan nongkrong berempat, yuk, sama sobat gue," katanya sambil menjabat tanganku. Asing? Mana mungkin. Dia pernah mengisi seluruh mimpiku selama 5 tahun, mana mungkin asing.
"Kencan ganda, nih?" tanya Trudy.
"Boleh," jawab Emile. What?! Kencan?!
"Trud, I'm Hardiwidjaja's," kataku mengingatkan.
"Selama janur kuning belum melengkung, kan kaga papa," jawabnya sekalian meledekku habis. Aku pasang muka cemberut, walau otot mukaku sebetulnya sudah gatal ingin tersenyum lebar. Mereka segera berlalu beriringan, dan aku segera berlari ke mobiku dengan dada berdebar-debar tak keruan.
"Ai," kata sebuah suara, membuatku menoleh cepat.
"Pak Angga?" tanyaku heran.
"Tadi itu apa?" tanyanya kebingungan.
"Oh, itu... Emm, tadi itu, saya ketemu sama Emile, yang lagi mau makan sama Trudy. Saya diajakin, jadi ikut aja," jawabku kelimpungan.
"Nggak papa tadi jadi obat nyamuk?" tanyanya menyelidik.
"Lumayanlah," jawabku, mencoba kabur dari topik pembicaraan ini.
"Ah, saya kurang yakin. Gini aja, sebagai bayaran, kamu harus nemenin saya makan malem. Oh, ngomong-ngomong, saya juga setuju sama ide kamu tadi pagi. Anggarannya nanti kita bahas besok pagi. Kalau bisa, hasilnya ditunjukkan ke si bos besar minggu depan," katanya.
Loh, jadi karanganku betul, nih?
"I... iya, Pak. Mau makan di mana?" tanyanya.
"Sushi Tei," jawabnya mantap. Aku meliriknya dengan tatapan siapa-yang-bayar-nanti-?.
"Saya yang bayar," katanya, seolah menjawab pertanyaan dalam lirikanku.
Kafe itu tidak jauh dari Sushi Tei, jadi kami tidak perlu naik mobil untuk sampai di sana.
***
"Oh, itu telur ikan terbang, ya?' tanya Pak Angga.
"Bapak nggak tau?" tanyaku.
Dia hanya menggeleng. "Jangan panggil Bapak," katanya, "Kamu bikin saya terdengar tua banget."
"Jadi, tadi kenapa narik saya?" tanyanya, cukup berhasil membuat jantungku berlompatan.
"Udah lama nggak liat, jadi pengen tau keadaannya. By the way, makasih ya, Pak," kataku, dengan debaran jantung yang berkejar-kejaran. Aku yakin, pasti mukaku sekarang sedang bersemu merah mirip kepiting rebus. Tunggu... Aku bukan bersemu merah karena ikut menjadi salah satu penggila Pak Angga, loh. Maksudku, aku akan ketahuan. Aku akan ketahuan bahwa aku menjadikan Emile sebagai cinta pertamaku.
"Hmmmm, ketauan...," katanya, lebih mirip pakar cinta daripada manager perusahaan IT, "Tapi, saya nggak akan membahas yang lebih personal, kok." Aku membuang napas lega.
"Sushi-nya jangan cuman diliatin, dong. Itadakimasu," ajaknya, secepat kilat menjepit sepotong sushi di sumpitnya.
"Itadakimasu," jawabku.
Entah kenapa, aku tidak ingin cepat-cepat selesai makan sushi.
Aku ingin waktu diperlambat saja.
Tunggu... Apa aku...
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
RomancePilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...