Bab 23: Senja

422 11 0
  • İtfaf edildi Adam Wicaksono
                                    

Aku meyusuri lorong rumah sakit, menaiki beberapa anak tangga kemudian berbelok ke kanan dan ke kiri untuk mencari kamar itu. Kamar nomor 141.

Aku mengetuk pintu kamar tempat Adam dirawat. Aku sebetulnya benci sekali bau rumah sakit. Tanpa mengetuk pun sebenarnya aku bisa saja langsung masuk. Tapi, aku tidak ingin dianggap sebagai cewek tidak tahu sopan santun.

Hidung mancungnya menghirup oksigen sedikit-sedikit. Kulit putihnya penuh luka disana-sini. Aku miris juga. Belum lagi jahitan-jahitan yang melintang di sekujur tubuhnya. Itu membuatnya betul-betul terlihat menderita.

Aku menurunkan ransel-ku, kemudian mengupas apel yang terletak di situ. Ibunya sedang tertidur, dan rasanya sangat tidak mempunyai tenggang rasa jika aku tidak ikut merawat Adam disini. Kalau ibunya hanya kelelahan, mungkin aku tidak akan seheboh ini. Masalahnya, ibunya Adam sudah lama lumpuh dan tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.

Aku mengambil sebuah pisau dari meja, memotong apel pelan-pelan, kemudian meletakkannya satu-satu di piring.

"Ai?" tanya sebuah suara. Berat dan rendah. Adam.

"Iya?" tanyaku balik, sambil masih mengupas apel. Aku bersyukur sekali melihat Adam sudah siuman.

"Aku dimana?" tanyanya kemudian. Aku heran juga. Sejak kapan dia menggunakan aku dan kamu. Atau jangan-jangan...

"Nama lo siapa?" tanyaku panik.

"Adam. Adam Wicaksono," jawabnya cepat.

"Umur lo, nama nyokap lo, nama adek lo yang tukang nonton SpongeBob?" cecarku.

"Kamu kira aku amnesia?" tanyanya sambil tertawa.

Aku mengangguk. "Kenapa pakenya aku-kamu?" tanyaku.

"Nggak boleh?" tanyanya balik, heran.

"Eh, tapi kan biasanya elo...," kataku, kemudian kembali melanjutkan mengupas apel karena bingung harus berkata apa.

"Gue pengen tobat ah. Jadi anak alim," katanya dengan suara sendu. Iya, kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah bunuh diri. Bayangkan saja, dikhianati pacar sekaligus kehilangan dunianya! Dia lebih tegar dan malah memilih untuk insaf.

"Kenapa?" tanyaku, satu kata tapi bertanya sampai ke titik yang paling detail.

"Kamu," katanya pelan-pelan, melafalkan setiap hurufnya dengan jelas dan hati-hati.

Kata-kata itu betul-betul petir di siang hari buatku. Aku menatap wajahnya. Aku tidak melihat tanda-tanda dia sedang mengerjaiku. Aku hanya melihat segenap kesungguhan. Keseriusan.

Senja sudah mulai datang, menggantikan terik ganas siang hari. Pecahan sinar yang cerah masih menggantung di langit-langit, mulai termakan oleh kegelapan. Bercak-bercak jingga terbalur di beberapa tempat, mengukir senja dengan cantik. Langit kemerahan merongrong di angkasa.

Aku masih terdiam di tempatku, masih berusaha mencerna kata-katanya barusan. Aku juga masih belum mengerti maksud dari kata "kamu" yang dia ucapkan. Aku betul-betul seperti kehilangan otakku.

Mataku kembali terpaku ke arahnya. Dia masih tetap duduk dalam ketegangan, menatap dengan sungguh-sungguh padaku. Aku menatap matanya. Aku bia menemukan cinta di dalamnya. Aku bisa merasakan kenyamanan di dalamnya.

Aku terus memandang wajahnya. Rona senja terlukis di wajahnya. Tulang pipinya yang tinggi dan rahangnya yang tergaris jelas menggambrakan bahwa ia adala seseorang yang tegas. Hidungnya yang mancung dan kulitnya yang putih membuatku terpana. Dia adalah malaikat pencabut nyawa. Superganteng. Malaikat pencabut nyawa superganteng. Ya, itulah dia.

"M-Maksudmu?" tanyaku tergagap.

"Kamu. Aku cinta kamu. Maukah kamu jadi pacarku?" tanyanya dengan mimik serius. Aku bisa mendengar gemuruh jantungnya yang sedang berkejar-kejaran di dalam sana. Tapi, aku juga bisa mendengar gemuruh dari dalam dadaku sendiri.

"Ya, aku mau," jawabku.

Rekahan senja ini masih menjadi milikku...

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin