Bab 33: Kartu Nama

503 14 2
                                    

Cinta. Huh, benda itu...

Aku tidak akan pernah percaya lagi. Awalnya mungkin memang manis, tapi di akhir, dia menusuk seperti duri.

Aku menempelkan kedua telapak tangan di dadaku. Dada yang pernah berdegup karena cinta. Aku jadi ingat, dulu aku pernah menjadi seorang gadis yang percaya pada cinta dan segalanya. Dikhianati oleh orang yang paling kupercaya pun menjadi salah satunya.

Foto yang berpigura itu juga kulemparkan ke dalam keranjang sampah. Aku sudah tidak percaya dengan yang dinamakan cinta. Bukankah itu hanyalah reaksi kimia dari tubuh suatu organisme? Akh, aku sudah tidak peduli lagi pada dunia.

Kalau aku bisa mati, lebih baik aku mati saja. Aku tidak akan peduli lagi pada dosen killer di kampus. Buat apa aku berjuang mati-matian? Pada akhirnya, aku akan mati juga. Mati... Mati... Mati...

Ponselku berdering lagi. Trio ajaib mengirimiku pesan bertubi-tubi. Aku akhirnya mengangkat tubuhku yang terasa sangat berat, memaksanya diguyur air di dalam kamar mandi. Aku kemudian mengambil pakaian sekenanya, berdandan ala kadarnya, lalu berangkat dengan mata sembap.

***

Sesuai dugaanku, trio ajaib langsung heboh begitu mendengar ceritaku. Aku percaya pada mereka. Belum pernah sekalipun mereka membocorkan apa yang kukatakan pada siapapun.

Aku menceritakannya dari awal sampai akhir, dan mereka menyimaknya dengan begitu seksama. Inilah teman-teman yang kubutuhkan, yang selalu ada di kala senang dan susah, bukan minta enaknya saja. Aku juga senang-senang saja membantu jika mereka meminta bantuanku kapan-kapan.

"Ya udah, ayo makan di Hokben!!! Biar kamu happy," teriak Tria bersemangat, yang langsung dibalas lirikan tajam Helen. Tria memang manusia paling tidak berperikecurhatan. Tapi dia tidak pernah mengabaikan ataupun mengkhianatiku. Dia teman yang baik. Manusia punya kekurangan dan kelebihan, bukan?

"Tapi, ayok-ayok aja, sih. Keroncongan nih perut," timpal Pinkan akhirnya.

"Lo tukang diet sih. Sok makan sedikit pas sarapan, jadi gini kan?" tanya Helen gemas.

"Gue ada kuliah pagi, nih. Duh, mana belom di print lagi tuh tugas," kata Tria sambil sibuk ber-BBM ria dengan pacarnya.

"Belom nge-print kok BBM-an. Aneh dah lo," balas Helen sambil terus melirik gemas ke arah mereka berdua.

"Ya udah, yang mau pada kuliah, kuliah dulu. Ntar ngumpul deh. Malem kek, siang kek, sore kek. Contact aja," kataku akhirnya, menengahi mereka bertiga yang selalu bertengkar karena hal-hal kurang bermutu.

Helen kelihatannya sedang mendapat mood yang baik hari ini. Buktinya, dia yang mentraktir Tria, perempuan ajaib tukang makan itu di Pizza Hut (ga jadi makan di Hokben gara-gara pengen makan yang ringan-ringan aja).

"Len, absenin gue, ya. Males dateng nih. Daripada ntar Pak Dosen kena serangan jantung karena stress ngadepin gue," kataku sambil mencari posisi duduk yang tepat.

"Sippp. Gampang itu... Aman. Dah, ya, gue cabut dulu," kata Helen sambil menarik lengan baju Tria untuk mengajaknya jalan.

Aku kembali terduduk sendiri di belakang meja. Jadi, setelah kisah cinta rumit yang kurajut bertahun-tahun lamanya, arus yang datang dan pergi seiring waktu, kesetiaan yang teruji berkali-kali, akhirnya kisah cintaku berakhir karena ini? Aku memang bukan dipisahkan dengan segala bentuk lengkingan teriakan dan makian, tapi cukup dengan sebuah status. Status bahwa aku adalah sepupunya. Tapi itu betul-betul memutarbalikkan semuanya, mengunci pintu yang dapat menghubungkanku dengannya.

"Ada orang?" tanya seorang pria di depanku. Pizza Hut sedang ramai sekali kala itu. Aku tidak ingin dikatai sebagai Miss Pelit sepanjang perjalanan pulang. Meskipun ingin sendiri, dengan enggan aku mengangguk, mempersilakannya untuk duduk. Sepertinya dia seorang mahasiswa juga, sama sepertiku.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin