Bab 37: Retorika dan Konklusi

503 9 8
                                    

Irama napasku berkejar-kejaran, memburu satu sama lain. Butir-butir pil terus berjatuhan ke lantai, menimbulkan bunyi gemerincing yang canggung di lantai. Setidaknya aku harus memungut beberapa. Satu pun tak apa, asalkan dosisnya cukup untuk membuatku pergi.

Aku tidak tahu berapa yang berhasil kuraup, karena aku tidak peduli lagi. Langkahku yang pendek-pendek berhasil mengantarkanku ke balkon. Aku menggeser pintu balkon dengan kasar, lalu segera menjejalkan pil-pil yang ada di tanganku ke dalam mulutku.

Seluruh dunia serasa berputar-putar mengitariku, diikuti dengan tubuhku yang makin lama makin limbung. Lantai balkon terasa terus bergerak-gerak. Ketika lantai itu akan kupijak, entah kenapa lantainya bergerak ke arah lain.

Tulangku serasa lepas semua, dan tubuhku serasa seberat satu ton. Aku akhirnya bersimpuh di balkonku, dengan dunia yang semakin berputar hebat. Kepalaku membentur pagar pengaman balkon, dan entah kenapa, rasanya tidak sakit.

Mungkin aku sudah mati.

***

Cahaya putih menyelinap melalui sela-sela kelopak mataku. Mungkin aku sudah sampai di surga, atau tempat apapun itu.

Samar-samar kudengar beberapa kali ketukan. Apakah di surga ada pintu yang harus diketuk juga? Aku menoleh perlahan-lahan, dengan rasa nyeri menjalari seluruh leherku dengan begitu hebatnya. Lalu bertambah suara lain, dan lain-lainnya yang membuatku mendapatkan sebuah konklusi: aku masih hidup.

Tenggorokanku tercekat ketika aku akan menjawab ketukan di pintu kamarku. Rasanya seperti sudah seminggu tidak meminum apapun.

"Ai, ini Aleen," teriak suara di luar sana. Aku melihat jam dinding; sudah pukul 4 sore. Dengan mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa, akhirnya aku berhasil menjawab, "Kunci duplikat."

Lalu aku hanya bisa mendengar suara riuh yang biasa, dan semuanya kembali gelap.

***

Aku terbangun di sebuah bidang empuk berwarna putih. Pasti sebuah kasur, entah dimana. Pandanganku perlahan-lahan mulai menjadi jelas, dan akhirnya aku bisa melihat lagi kamarku.

Aku betul-betul merasa menyesal sudah meminum pil-pil kecil itu. Sekarang badanku lemas sekali, dan di kepalaku mungkin terdapat sebuah benjolan yang memalukan akibat terbentur pagar pengaman di balkon.

Kupikir, dengan meminum beberapa pil itu, aku masih punya tenaga untuk memanjat pagar balkon. Ternyata, aku hanya teler di balkon dengan keadaan yang begitu kepayahan.

Aleen duduk di sampingku. Kakinya disilangkan, dan punggungnya tegak. Entah bagaimana, posisi duduknya yang tegak itu tetap membuatnya terlihat rileks. Dia hanya mengenakan celana pendek berwarna khaki dan atasan kaus oblong berwarna putih. Aku hampir saja meledak karena tawa kalau saja tidak mengingat situasinya.

Kaus oblongnya bertulis:

"GF: Am I pretty or ugly?

BF: Both of them.

GF: What do you mean?

BF: Pretty ugly."

"Kenapa bisa sampai begitu, Ai?" tanya Aleen membuka pembicaraan. Oh, ya, Aleen adalah tetanggaku yang paling setia, sekaligus kakak perempuan yang tidak pernah kumiliki. Umur kami hanya berselisih dua tahun, tapi perbedaan mencolok membentang di hadapan kami. Di adalah seorang anak jutawan, dengan produk Paris Hilton di setiap sudut lemarinya. Mungkin karena kondisi ekonomi orangtuanya. Terlepas dari itu, dia adalah seorang jenius yang baik hati dan berpendirian teguh.

Sedangkan aku adalah seorang gadis tomboy dengan dandanan alakadarnya. Paling mentok hanya sebuah jeans dan kaos oblong. Entah seperti apa aku di matanya, yang jelas kami serasi sekali. Sampai-sampai dia melarangku menambahkan embel-embel "Kak" di depan namanya.

Setiap malam Sabtu--jadwal liburnya dari pemotretan--dia selalu datang ke kamarku untuk menonton film. Selera fashion kami berbeda, tapi, entah kenapa, kata orang, kami seperti pinang dibelah dua. Itu adalah retorika yang tidak pernah terpecahkan oleh kami sampai detik ini.

"Panjang, deh ceritanya," jawabku. Aku kaget dengan suaraku sendiri yang terdengar begitu tenang setelah semua yang terjadi padaku. Kelewat tenang, bisa dibilang.

Dia hanya mengangguk pelan, meskipun pandangan heran tidak pergi dari tatapan matanya. Lalu keheningan menyeruak di antara kami. Sejak Adam SMA, aku memang lebih banyak mengabiskan waktuku untuk berpikir daripada sekedar mengobrol atau bercanda.

Keheningan itu diganti dengan suara ketukan di pintu. Aku sudah tahu pasti sosok yang berada di luar sana: Rene.

Dugaanku memang benar, dan rasanya aku ingin berkeliling ke seluruh kota karena merasa telah mengalahkan Ki Joko Bodo. Oke, itu bohongan. Aku hanya senang karena setidaknya masih ada orang yang care padaku.

"Udah baikan?" tanyanya, melontarkan kalimat cliche seperti yang biasanya ada di sinetron-sinetron petang.

"Udah," jawabku, masih sejalan dengan roman-roman picisan itu.

"Keluar dulu, ya. Nggak mau jadi nyamuk," kata Aleen menyela. Aku memberinya sebuah pelototan, tapi tidak dihiraukannya.

Aleen sudah keluar, dan tinggal kami berdua yang masih ada di dalam. Entah kenapa, suasananya persis sekali dengan sinetron petang yang belakangan ini sering kutonton bersama Aleen. Kesunyian mendekapku, membuat suasana canggung meluber di ruangan itu.

Manik matanya berhasil mematuk manik mataku, dan pandangan kami beradu. Kedua pipinya bersemu merah, mengguratkan rangkaian kata, seakan-akan ada sesuatu yang tertahan di ujung lidahnya.

"Ai," panggilnya.

"Hmm?" tanggapku. Sebuah firasat menggelayutiku.

"Mungkin waktunya nggak tepat, tapi... Maukah kamu jadi pacarku?" tanyanya, bagaikan arus ribuan volt di senja yang tenang. Beberapa tahun silam, di dalam kamar nomor 141, Adam menyanyakan pertanyaan yang sama, dan sekarang, setelah ribuan hari berlalu, di dalam kamar nomor 413, seseorang yang kuberi sebuah tempat istimewa di dalam relung hatiku pun melakukannya juga.

... dan seperti beberapa tahun yang lalu, aku pun menjawab dengan jawaban yang sama: "Ya, aku mau."

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin