Bab 1: Aku Cinta Dia

2.4K 28 0
                                    

Teman-teman mengataiku mirip dengannya. Sebagian hatiku kesal, tapi, tak urung, aku senang juga. Aku berpura-pura menolak, padahal ingin digodai. Ternyata, bukan hanya aku yang suka padanya. Para kakak kelasku bahkan terang-terangan merayu setiap paginya.

Walaupun begitu, aku masih punya kesempatan, meski hanya satu banding sejuta, atau mungkin satu banding semiliar. Menurutku, cara pendekatannya begitu mencolok, dan aku yakin dia tidak akan menjadikannya pacarnya.

Pada istirahat siang hari itu, aku baru tahu namanya. Koentjaraningrat Kamga Adiputra. Aku suka namanya. Nama itu melekat di mulutku seharian, diulang-ulang agar aku tidak lupa bahkan se-huruf pun. Saat mengerjakan latihan di kertas soal, aku bahkan menuliskan namanya di kotak nama, dan bukannya namaku. Itu terjadi begitu saja. Aku baru sadar beberapa menit kemudian. Sumpah, rasanya seperti di hipnotis saja...

"Hayooo, pacarnya Kamga mau lewaaat," kata Blessy membuat kegaduhan. Padahal, itu sudah jam masuk. Kulirik orang yang dimaksud Blessy dengan "pacarnya Kamga" itu. Bianca tertunduk malu-malu di sana.

Tak kusangka-sangka, Bianca duduk di sebelahku segera setelah itu. Tanpa basa-basi, aku menanyainya soal hal itu, dan dia mengelak dengan tegas. Fyuh, setidaknya, satu saingan telah tersingkir. Aku tertawa pelan sambil mengepalkan tangan di bawah meja, berbisik "yes" penuh kemenangan.

Hidupku kembali tenang. Satu langkah mendekat menuju Kamga. Setidaknya, selain aku, hanya beberapa anak lain yang menyukainya, dan aku yakin aku bisa bersaing dengan mereka. Oke, aku memang cari perhatian padanya. Setiap dia bertanya satu kata, dengan hiper akan kujawab dengan satu paragraf.

Rupanya, hal itu berdampak nihil. Aku malah semakin gila dengan imajinasiku. Setiap kali melihat wajahnya, aku malah membayangkan bahwa ia menggenggam kedua tanganku di atas bukit, dengan sunset sebagai background-nya.

Sssshhh, ini rahasia. Aku sebenarnya gengsi juga untuk mengakui bahwa aku menyukainya. Maksudku, dia adalah idola banyak perempuan dan aku ingin menjadi the one and only. Extraordinary dan hanya satu. Apalagi jika harus disejajarkan dengan para perempuan yang terang-terangan mencari perhatiannya (dengan cara yang kurang intelek. Aku kan *ehem, oke, aku ge-er* pedekate dengan cara yang, yahhh... Bisa dibilang intelek lah).

Yang pasti, aku tidak terlalu bahagia dalam menanggapi kenyataan bahwa sainganku segunung.

Sebetulnya, mukanya tidak terlalu tampan. Badannya saja yang cukup atletis. Tapi, tampangnya mengundang simpati, hangat, dan "enak dan nggak ngebosenin kalo diliat lama-lama", dan itu cukup untuk membuat anak kelas satu SMP meleleh karena cinta monyet.

Makin hari, dia makin menaruh perhatian padaku (hmm, pedekate-ku ternyata cukup berdampak positif). Pada pelajaran olahraga, dia pernah memujiku. Sepanjang sisa pelajaran hari itu, aku melayang-layang di gerbang surga saking senangnya. Aku mulai berolahraga tiap hari, membaca buku-buku teknik olahraga, dan sebagainya. Kau tahu kan... Agar aku bisa terus dipuji olehnya.

Esoknya, dia tiba-tiba saja berubah. Dia lebih cuek padaku. Yang lebih kentara, dia membicarakan keburukanku kepada Davey di belakangku. Aku tahu itu dari Freya.

Aku mengentakkan kakiku saat mendengar kabar itu, membuat Ran tersentak kaget. Kupikir, itu terjadi karena aku sedang PMS (baca: Pre-menstruation syndrome). Tapi, begitu kutanya tanggal hari itu pada Bianca, aku tahu bahwa aku tidak sedang mengalami PMS.

Aku sedang cemas. Cemas kalau-kalau dia membenciku. Membenci semua kejelekanku. Aku makin gelisah saja setiap harinya. Aku ingat sekali hari saat kecemasanku terbukti.

Aku tidak mungkin lupa. Hari itu hari Kamis. Aku sedang berjalan-jalan di lorong sekolahku ketika kulihat Freya berjalan sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Aku tahu jelas bahwa ia sedang menangis. Kenapa lagi dia?

Akhirnya aku tahu satu hal dengan pasti: Kamga bertengkar dengannya.

Setelah mendengar duduk permasalahnnya, aku segera menenangkan Freya. Bianca datang kepadaku, berbicara tentang bagaimana brengseknya Kamga, seberapa brengsek-nya dia, dan hal-hal lain yang tidak kudengarkan lagi (karena kedengarannya tidak penting).

Entah kenapa, rasanya seluruh darah di tubuhku mendidih ketika aku mendengar kalimat terakhir. Dia jelas-jelas telah menginjak-injak harga diri perempuan. Tak ayal lagi, dia kuajak bicara. Aku juga memperingatkannya. Bianca bergaya sekali. Dengan tangan yang tersender di dinding seperti cowboy jagoan, ia berdiri menatap Kamga. Aku yang bicara.

Yang kudapati dari apa yang kulakukan adalah sengatan listrik jutaan volt. Dia, Koentjaraningrat Kamga Adiputra, membentakku. Camkan: MEMBENTAKKU!

Aku menangis begitu saja. Sejak saat itu, aku dan Kamga bermusuhan. Aku membenci Bianca. Aku membenci Freya. Aku membenci semua pihak yang telah membuat Kamga membentakku. Aku lebih benci lagi ketika melihat Freya tertawa-tawa bersama Kamga di pelajaran berikutnya. Padahal, 40 menit lalu, ia masih menangis sesenggukan karena bertengkar dengan Kamga. Sejak itulah aku membenci Freya.

***

Waktu bisa mengubah apapun, termasuk mimpi, cinta, keadaan, dan benci. Makin hari, Kamga kelihatannya makin melunak padaku. Aku sebetulnya ingin meminta maaf padanya, akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana cara meminta maaf kepada laki-laki. Pada intinya, aku tidak tahu bagaimana cara laki-laki untuk berdamai.

Soal perlakuan dan tatapannya padaku yang melunak, aku cukup senang. Meski itu tidak berarti bahwa aku sudah melupakan kebencianku pada Freya. Saat aku bertanya padanya, ia mengelak. Padahal aku tahu, ia sering curi-curi pandang pada Kamga. Entahlah. Dalamnya lautan bisa diketahui, tapi dalamnya hati manusia tidak.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin