Bab 8: Cinta vs Logika

855 18 1
                                    

Kamga sudah available sekarang. Siapapun berpeluang untuk menjadi pacarnya, karena Freya, perempuan yang dicintainya sudah punya pacar. Aku hari itu sumringah sekali. Bukannya bermaksud untuk tertawa di atas kebimbangan cinta mereka, tapi, entah kenapa, aku hanya senang Kamga belum dipacari siapapun. Seolah-olah rasanya aku sudah mengenggam seluruh cintanya. Ya, memang perasaan yang aneh, tapi, bukankah cinta itu aneh juga? Cinta itu buta, tidak melihat siapa yang tersangkut di durinya. Cinta bisa membuat orang gila, melupakan logika dan kerasionalan yang menjadi dasar semua teknologi di dunia.

Aku duduk di atas pagar sekolah. Pagar itu tingginya hanya sekitar 90 cm, jadi, semua orang bisa duduk di atasnya selayaknya bangku taman. Aku sedang membaca buku Refrain yang pernah menjadi novel best-seller dan laku keras setahun lalu. Kadang, aku tertawa-tawa sendiri. Jangan salah, aku juga bisa menangis ketika sedang membaca novel, masa bodoh dengan kegaduhan yang terjadi di sebelahku. Jika pada suatu hari aku membaca novel Titanic milik James Cameron di diskotek atau konser rock n' roll pun aku akan menangis sesenggukan. Kebalikannya pun akan terjadi juga. Jika aku membaca buku humor, maka aku akan terpingkal-pingkal seolah-olah seisi dunia ini begitu lucu dan pantas untuk ditertawakan, tidak peduli apakah aku sedang berada di rumah hantu, rumah anker, ataupun taman pemakaman.

Sepertinya, kebiasaanku itu mengganggu orang yang duduk lima meter jauhnya dariku. Dia dari tadi kelihatan berkonsentrasi penuh dengan earphone-nya, memencet-mencet tombol volume ponselnya puluhan kali, seperti sudah tidak ada lagi barang lain untuk dipencet di dunia ini. Mungkin dia sedang patah hati atau apapun itu. Aku tidak peduli dengannya, meskipun aku sebetulnya bersimpati dengannya karena dia sedang patah hati (kalau memang benar dia sedang patah hati).

Setelah itu, dia melompat turun dari pagar dan berjalan ke arahku. "Nggak usah lebay, deh. Cari perhatian sama siapa sih, lo? Berisik tau, nggak?" katanya judes. Sebenarnya, aku malas juga cari masalah dengannya (dan dengan semua orang juga, sih). Tapi, apa salahnya tertawa-tawa? Bukankah itu hak asasi manusia? Dia juga sudah memakai earphone-nya. Kenapa jadi sewot begitu?

"Lo kenapa? Ngiri ama gue yang bisa enjoy baca buku? Eh, hak-hak gue lah mau baca gimana pun reaksinya. Mau gue jungkir balik, mau gue nangis histeris, mau gue ngakak sambil nyakar-nyakar tanah, bukan hak elo juga buat ngelarang. Siapa lo siapa gue?" kataku tak kalah judes. Oke, tanggapan yang kuberikan memang berlebihan sekali, dan sebetulnya aku menyesal juga. Tapi, toh, semua sudah terjadi, dan aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri.

 "Kurang ajar banget, lo! Untung lo cewek. Coba kalo cowok. Udah babak belur, lo!" katanya dengan mata melotot.

Aku sudah hidup dengan banyak pelototan, jadi, tatapannya sudah bukan suatu hal yang menakutkan lagi bagiku. "Yang mulai nyolot siapa?" tanyaku balik, membuatnya salah tingkah. Skak mat! Siapa suruh mengomel lebih dulu? Tanggung sendiri akibatnya.

"Lo adik kelas, dan lo nggak berhak ngomongin kakak kelas lo gitu," katanya sok alim.

"Hak asasi manusia, dong. Ini di luar jam sekolah, dan lo nggak pantes dibaikin karena lo nggak bisa ngasih contoh yang baik ke adek kelas," kataku tenang.

"Apa maksud lo dengan nggak bisa ngasih contoh?" tanyanya garang.

"Lo nggak liat ada tulisan itu di pagar?" tanyaku menunjuk ke arah plang yang bertuliskan "Dilarang Keras Duduk Di Atas Pagar". Dia salah tingkah. Tapi, sepertinya dia tidak akan menyerah semudah itu.

"Terus, kenapa lo duduk di pager?" tanyanya padaku.

"Orang kakak kelas yang katanya jadi panutan dan berhak untuk nggak di hardik dan dinyolotin aja duduk di atsanya, kenapa gue enggak?" tanyaku padanya dengan enteng.

Dia segera berjalan ke arah plang besi itu, mencopotnya hanya dengan sekali tarik. Padahal, pengait plang itu dengan pagar adalah lima kawat besar-besar yang digabung menjdai satu. Setelah itu, dia langsung melesakkan plang tadi ke dalam tong sampah.

"Selesai, 'kan?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

"Bukannya itu ilegal? Payah lo!" kataku tidak mau kalah. Dia menarik napas untuk menjawab. Tapi, sebelum dia berhasil membuka mulutnya, ponsel di kantong celannya berbunyi, dan dia langsung bungkam. Tiba-tiba, suara garangnya berubah menjadi suara menghamba seorang anak kecil yang berumur lima tahun. "Iya, sayang. Iya. Kan janjiannya masih jam empat. Iya, iya, iya, sayang. Maafin aku karena kemaren aku salah pake kostum. Aku berani sumpah, hari ini aku nggak bakalan salah pake kostum lagi. Iya, iya, iya, sayang. Iya, kamu cantik kok. Kamu cantik banget. Kamu selalu cantik gimana pun keadaanya. Gemuk? Ah, enggak, kok. Kamu langsing dan berisi. Pas banget. Iya, aku juga cinta kamu. Dah, sayaaaang. Mmmuaahhh," katanya, kemudian menutup telepon.

Mukaku merah padam menahan tawa. Begitu kulihat dia sudah memutus hubungan teleponnya, aku tertawa terpingkal-pingkal sampai rasanya aku sudah tidak punya sedikit pun napas untuk kugunakan lagi. Begitu melihat itu, mukanya juga ikut merah padam karena malu. Lagi-lagi aku over dalam hal menanggapi sesuatu. Dia langsung pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Peduli setan. Aku saja tidak kenal dia. Jadi, itu bukanlah sebuah masalah serius jika ia marah padaku.

Tidak apa-apa jika seluruh dunia membenciku. Asal jangan Kamga yang membenciku. Kedengarannya terlalu mendayu-dayu yang tidak masuk logika, memang. Tapi, cinta dan logika bukan pasangan yang akur, bukan?

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin