Bab 27: Sepia

491 13 0
                                    

Aku menaiki tangga sekolah tiga-tiga. Jangan heran. Aku hampir saja terlambat masuk ke kelas IPS. Di kelas IPS, terlambat masuk 5 menit, apapun alasannya--bahkan jika kau katakan ibumu sedang koma sekalipun--kau tetap akan dikunci di luar ruangan dan tidak bias mengikuti pelajaran kecuali kau membuat surat pernyataan terlambat yang ditandatangani oleh guru piket dan kepala sekolah.

Dengan napas terengah-engah, akhirnya aku berhasil mencapai ruangan IPS sebelum pintunya tertutup. Aku menduduki kursi manapun yang masih kosong, dibutakan oleh nafasku yang memburu. Baiklah, ini pengakuan dosa: aku sama sekali tidak mendengarkan apapun yang dikatakan oleh guruku. Yang bergelayutan di kepalaku adalah terminal internasional Soekarno Hatta di malam hari, lalu aku melihat Adam pergi dengan koper hitamnya, tersenyum tegar ke arahku.

Entah bagaimana, aku merasa sangat ingin menangis di dalam kelas IPS yang sedang riuh oleh tawa. Guruku itu memang suka melucu, akan tetapi, aku malah semakin ingin menangis. Yang ada di dalam bayanganku kemudian adalah sebuah pesawat yang sedang lepas landas, menjadi salah satu dari jutaan gemerlap di langit malam. Kemudian, yang terbayang adalah sebuah televisi. Di bagian tengahnya, tertulis kabar bahwa sebuah pesawat meledak di Samudera Hindia.

Aku betul-betul tidak tahan lagi. Bajuku basah oleh air mata, dan aku berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya. Apakah nantinya aku akan didera perasaan seperti ini setiap harinya? Entahlah...

***

Aku keluar dari ruang pelajaran IPS dengan muka ditekuk seperti uang kembalian supir angkot. Aku masih saja memikirkannya, tak peduli sekeras apapun aku mencoba fokus pada kerajaan Majapahit dan kawan-kawannya itu.

Aku bahkan sudah lupa semua nama raja yang baru saja diterangkan. Tunggu... Kalau tidak salah, pendiri kerajaan Kutai itu Mulawarman, puncak kejayaanya raja Kudungga, pusat kerajaannya di tepi sungai Brantas. Benarkah itu? Sepertinya tidak...

Aku berjalan ke halaman sekolah, menghirup udara dalam-dalam. Untungnya, pelajaran IPS merupakan pelajaran terakhir. Kalau tidak, mungkin aku akan dianggap sinting di pelajaran berikutnya. Ran berjalan di sampingku, dan kami membicarakan tentang salah seorang guru yang narsisnya selangit. Dia memang masih muda, jadi wajar kalau masih narsis. Aku kadang geli sendiri melihatnya.

Siang itu terik sekali. Aku bahakan berharap bahwa terdampar di tengah-tengah Antartika jauh lebih baik daripada menghadapi sengatan panas matahari yang seperti setan ini. Kami melintasi sekolah dengan cepat, kemudian berjalan menuju halaman sekolah yang luas. Biasanya, setiap tanggal 17, akan diadakan upacara untuk seluruh warga sekolah. Pada hari itu, siapa saja yang seragamnya tidak lengkap, siap-siap saja. Ehem... Kalian pasti sudah tau apa yang akan terjadi.

Aku melangkah panjang-panjang, akan tetapi sukses berhenti mendadak berkat melihat dia sedang berbaring di halaman sekolah. Iya, dia, pacarku, Adam Wicaksono. Apakah dia begitu kebelet mendapatkan kasuur seperti di Buckingham Palace, sehingga nekat tidur di situ agar kasur di rumahnya akan terasa jauh lebih empuk dari sebelumnya?

Kau pasti sudah tahu apa reaksiku. Yah, apalagi kalau bukan menghampirinya dan bertanya apa yang sedang terjadi Di situ kulihat juga beberapa anak geng yang lolos dari kasus waktu itu. Apa Adam akhirnya memutuskan untuk kembali pada mereka dan... Oh, dia pernah bilang bahwa... Apa dia sudah berhenti mencintaiku?

Napasku mendadak berubah menjadi tersengal-sengal. Belum selesai sampai situ saja, karena--seperti yang sudah kubilang--siang ini betul-betul menyiksa, dan napasku menyesak dan menjadi-jadi.

"Noh, tanya aja ama orangnya sendiri. Masa nggak nanyain pacar sendiri?" jawab Greg yang sepertinya menikmati kasur barunya. Ia mendongak ke arah pacarku yang sedang tengkurap di depannya.

Aku menoleh ke arah Adam yang setengah terlelap. Heran... Panas-panas begitu bisa tidur?  Aku berlutut di sampinya, dan dia menoleh ke arahku.

"Oh, hehe, sori. Tadi malem aku maen game, jadi ngantuk berat sekarang," katanya sambil nyengir kuda.

"Terus, kenapa kamu maen tidur-tiduran gini?" tanyaku heran.

"Dihukum," katanya sambil bergerak-gerak mencari posisi yang lebih nyaman.

"Emang harus tiduran?" tanyaku lagi.

"Nggak sih, tapi kan capek juga," jawabnya ketika akhirnya menemukan posisi yang tepat.

"Emang kamu ngapain, sampe dihukum gini?" tanyaku penasaran.

"Oh, itu gara-gara coretan yang kubuat tahun lalu. Tahun lalu, sih, bareng geng, tapi baru ketauan sekarang...," katanya sambil tetap tengkurap.

"Kenapa sih kamu ngomong nggak mau ngeliat aku?" tanyaku panik juga setelah mendapatkan bahasa tubuh membelakangi yang sama berkali-kali. Lumayan tidak sesuai dengan topik, tapi, siapa peduli?

"Oh, sori. Itu karena... Awww, ngapain lo mukul paha gue?" tanyanya marah ke Greg saat mantan sobatnya itu menepuk pahanya.

"Dipukul pake rotan pahanya. Masalahnya, dia juga ngebuat coretan baru, jadi pahanya dipukul. Karena gue nyoretnya taon lalu, jadi cuman diginiin doang," jawab Greg tenang sambil mesih menikmati tanah halaman sekolah yang luas. Apakah merokok membuat orang jadi berhalusinasi lebih parah dari narkoba? Siapa yang tahu?

"Aku mau tunjukin sesuatu ke kamu," katnya sambil berusaha bangun. Aku membantunya berdiri, dan memapahnya begitu dia akhirnya berhasil.

"Ntar lo dimarahin ama Pak Dono!" teriak Greg sambil masih berbaring.

"Bodo amat," jawab pacarku sekenanya sambil kupapah. Aku menengok ke belakang, berhenti, lalu berkata, "Kamu pulang aja duluan. Pacarku masih lama," kepada Ran. Dia yang begitu alim pun mengangguk setuju, kemudian pulang bersama Blessy, Bianca, Freya, dan para cewek lainnya.

Dia berjalan ke belakang sekolah, tempat tembok-tembok tinggi yang membatasi sekolahku sengan tempat lainnya berada. Coretan-coretan para gangster yang menyatakan gangsterdam mereka menjadi pemandangan biasa di tempat tersebut. Sampai akhirnya dia berhenti di depan sebuah tembok putih yang coretannya seribu kali lebih awut-awutan daripada coretan-coretan yang lainnya.

Dia mengambil minum dari dalam tasnya, dan membuka tutupnya. Aku dikejutkan oleh kedatangan Pak Dono, guru BK kami yang... Begh, disiplinnya amit-amit. Aku penasaran, jika dia punya anak, apakah anaknya akan berpenampilan seperti tentara dengan rambut cepak dan jalan tegap?

Pacarku sepertinya tidak mengindahakan kedatangan Pak Dono, dan malah berpaling, lalu mengguyurkan air minumnya itu ke dinding. Dari wajahnya, bisa kulihat wajah Pak Dono memerah tanda murka. Tapi, Adam tetap tenang-tenang saja.

Aku memekik ketika tiba-tiba lukisan itu berubah warna. Perlahan namun, pasti, warnanya berubah menjadi coklat sepia, dan mulai menampakkan gambarnya. Dimulai dari bagian rambut, telinga, dan... Oh, Tuhan, gadis dalam lukisan itu adalah... Aku?

Aku ingat sekali momen itu. Saat rambut poniku yang panjang terus mengahalangi pandanganku membaca novel Conspirata karangan Robert Harris. Aku menyelipkannya berulang kali ke belakang telingaku, dan saku tidak sadar bahwa saat itulah Adam mengingat pemandangan yang terdapat diriku di dalamnya, mengabadikannya di tembok sekolah. Aku tiba-tiba merasa bahwa tembok ini adalah Hall Of Fame.

Kulirik Pak Dono yang juga tidak kalah terperangahnya denganku.

"That's you. Just for you," katanya sambil menatap mataku melalui matanya yang hitam tajam. Jantungku kembali berdebar kencang, dan sensasi itu datang lagi. Sensasi seperti yang kurasakan saat aku berdiri di depan lift pada malam Up All Night.

"Adam, jawab pertanyaan Pak Guru. Apa ini?" tanya Pak Dono sambil tetap terperangah.

"Lukisan yang menggambarkan pacar saya, Pak," jawabnya santai. Apakah dia tidak tahu bahwa pipiku sedang bersemu merah, dan seolah-olah semua darah dalam tubuhku mengalir ke kedua pipiku sekarang?

Pak Dono mendekat ke arah lukisan itu, merabanya, dan tiba-tiba berlari, dengan sebelumnya berteriak, "Sebentar, saya harus memanggil Bu Santi."

Aku dan Adam hanya bertatapan, menggeleng heran, lalu tertawa. Rasa takut itu tiba-tiba menjalari seluruh tubuhku.

Rasa takut ditinggalkan olehnya.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin