Aku patah hati lagi. Untuk kedua kalinya. Tapi, setidaknya, kali ini aku sudah jauh lebih siap. Kamga sudah larut pada cintanya. Lebih tepatnya pada Blessy. Kali ini, aku tidak menangis atau apa. Aku hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa aku memang bukan untuknya. Hatiku terasa seperti terobek. Luka lama yang pernah terkoyak kini terkoyak lagi. Aku terus tersenyum dan berkata bahwa aku tidak apa-apa. Aku terlalu cemburu untuk berpikir dengan akal sehatku. Aku tidak ingin perasaanku pada Blessy sama seperti perasaanku pada Freya. Aku tidak ingin membenci seseorang hanya karena kesentimental-an-ku yang sementara. Dan aku tahu itu tidak boleh terjadi lagi.
Pada ekstrakurikuler sore itu, aku hanya duduk diam. Entah karena selama ini otakku terlalu terkekang oleh cinta atau apapun, yang jelas, otakku tiba-tiba saja langsung secerah mentari yang di film-film. Tanpa kususruh pun, otakku sudah bekerja dengan angat baik. Aku belum pernah mengerjakan latihan soal secepat, setepat, dan seakurat ini. Apa karena kini akhirnya aku bisa fokus pada hidupku? Entahlah...
Aku akhirnya selesai duluan. Selesai duluan dan yang pasti keluar duluan. Aku menunggui Ran di depan pintu kelas. Tak lama kemudian, akhirnya Ran keluar dari kelas dengan muka yang cerah. Kami segera jalan ke supermarket untuk membeli manik-manik. Rencananya, kami akan membeli manik-manik dan merangkainya menjadi gelang.
Tiba-tiba saja, ponselku bunyi. Aku segera merogoh sakuku. Dan... Sumpah! Itulah pertama kalinya aku ingin berteriak sampai dunia kebisingan. Kamga meng-invite pin BlackBerry Messenger-ku! Aku rasanya ingin segera menaburi ranjangku dengan sejuta mawar, tidur di atasnya seperti putri-putri dalam dongeng, lalu meninggal dan tinggal di surga saja. Karena seingatku, itu adalah hal yang masih membuatku mempunyai harapan untuk terus hidup di antara variabel-variabel Matematika yang selalu berhasil membuatku sakit kepala.
Tanganku langsung gemetaran. Aku akhirnya meletakkan ponselku kembali, menenangkan diriku agar aku tidak sampai salah pencet ataupun menjatuhkan ponsel kesayanganku. Aku betul-betul gugup. Aku rasanya sudah akan bersujud syukur jika ia menerima invite-ku. Dan ternyata, sebelum aku bahkan meng-invite dia, dia sudah terlebih dahulu meng-invite-ku.
Setelah rasa gemetar itu agak memudar, aku baru berani mengambil ponselku kembali dan menerima invite-nya. Untung aku tidak salah pencet. Fyuh...
Tiba-tiba, dia langsung mengirimiku pesan. Walaupun hanya kata "Hi", itu sudah cukup. Itu sudah berhasil melambungkanku sampai ke planet Mars. Sepanjang jalan, aku terus tersenyum lebar dan tidak bisa mengatupkan bibirku barang sedetik pun.
Namun, harapan-ku yang sudah setinggi planet Mars itu harus terhempas ke bumi lagi begitu aku melihat Private Message-nya. Kau tahu apa yang ditulisnya? "<3 Sasha <3". Aku hampir gila, namun akhirnya aku berhasil menguasai diriku lagi.
Tidak tahan lagi, aku langsung menjawab pesannya dan mengirim pesan pancingan. Dia langsung membalasnya semenit kemudian.
"Iya sih, gue emang ngarep banget ama dia. Tapi, yahh... Mau apa lagi? Relain aja..."
Aku kembali terbang ke Mars dengan pesawat Apollo yang sudah berevolusi seribu kali, sehingga aku berhasil sampai ke Mars hanya dalam waktu semenit.
Aku sadar bahwa lama-lama, cintanya pada Sasha akan padam seiring dengan penolakannya. Setelah itu, ia akan memilih Blessy. Kalau tidak Blessy, ya berarti aku (ehem, oke, aku ge-er lagi).
Harapan itu sekarang melambung makin tinggi saja. Aku makin gila dengan fantasiku. Entah kenapa, langkahku tiba-tiba menjadi ringan dan aku merasa seperti aku sedang melayang. Aku tidak menduga bahwa Kamga berhasil mempengaruhi seluruh mood-ku dari jarak ratusan meter jauhnya.
Aku merasa yakin 100% dengan cintaku padanya...
***
Kami sudah sampai di toko kerajinan dekat supermarket. Aku keranjingan sekali keluar-masuk tempat itu. Bayangkan saja, dia atas pintu itu terdapat bel yang langsung berbunyi dengan imutnya ketika kau masuk. Mau tidak mau, aku langsung menjadi anak TK yang begitu terpesona dengan iPhone 5S keluaran terbaru.
Ran hanya menatapku sambil geleng-geleng kepala sekaligus menahan malu (sorry, cuy). Setelah itu, aku langsung masuk ke dalam dan ikut memilih manik-manik. Entah Tuhan sedang baik atau jahat, tiba-tiba saja Adam Wicaksono sudah berdiri di sebelahku.
"Ngapain lo disini?" tanyaku setelah berhasil menguasai diriku dari kekagetan.
"Loh, emang ini supermarket elo? Kayaknya kagak, deh. Hak-hak gue lah," katanya dingin. Ugh, aku rasanya ingin sekali menaboknya dengan sepatuku kalau saja aku tidak mengingat perlakuannya padaku kemarin di tebing.
"Yaaaah, elo malah nyolot. Kan gue nanya doang. Nggak biasanya lo ke sini," kataku dengan muka mono.
"Beli telor," jawabnya singkat. Aku hampir saja terjungkal saking tidak tahannya menahan tawa. Bayangkan saja! Jeans hitam, kalung rantai, kaus putih, badan kekar berotot, tatapan tajam, dan di tangan kanannya tiba-tiba saja terdapat satu rak telor.
"Ntar elo kalo udah jadi istri gue pasti bakalan seneng deh, punya suami yang rajin beli telor," katanya tiba-tiba. Aneh sekali.
Bukannya marah, aku malah mempunyai ide jahil di kepalaku.
"A-ha! Lo pasti naksir gue kan? Pake acara bilang kalo gue istri lo lagi! Ngaku! Lo naksir gue kan?" tanyaku dengan muka jenaka.
"Idih, ge-er lo. Orang gue punya Charlotte tersayang gue. Gue pengen ngeliat reaksi lo aja. Ternyata, muka lo merah padam tuh. Hahahaha, ketauan deh lo," katanya dengan muka mesum. Idih!
"Muka lo soalnya mupeng banget ke gue," kataku, berusaha menyudutkannya.
"Lo aja tuh ngeliat ke bagian bawah mulu. Mau ngapain, sih?" tanyanya mencoba menyudutkanku juga.
"Idih, dasar gila--," kataku, namun terpotong karena jari telunjuk Ran sudah berada tepat di depan bibirku.
"Kalian berdua tuh ya... Urusan rumah tangga ya diselesein di rumah," katanya, pasang tampang innocent.
Aku dan Adam langsung pasang adegan muntah.
"Naaah, kan. Kalian harusnya nggak usah berantem. Gerakannya aja langsung sama tanpa dikomando, muntah-muntah gitu. Sehati deh kalian. Udaaaah, jadi pasangan suami-istri tuh yang akur. Oke?" tanyanya dengan tatapan sangat menggoda.
Aku dan Adam memasang adegan muntah lagi.
***
Aku sedang berdiri menunggu bus ketika tanganku menemukan secarik kertas putih di saku jaketku.
"Dateng ke pager pulang sekolah, ya? Kayak biasa. Gue nunggu lo. Gak dateng, gue suruh lo makan batagor kagak enak kayak yang waktu itu.
Adam"
Dia akan memberiku kejutan apa lagi, sih?
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
RomancePilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...