Bab 31: Kebenaran Kadang Menyakitkan

511 12 0
                                    

Aku menelan lagi satu butir pil parasetamol. Ugh, Tria malah bikin kacau saja. Dress code-nya kan pakaian resmi berwarna hitam atau putih, atau keduanya, dan dia malah membeli dress berwarna ungu. Jadilah semua orang geger membantunya mencari dress yang baru. Ujung-ujungnya, aku yang kerepotan mempersiapkan pestaku sendiri.

"Udah makan belom?" tanya suara di belakangku. Kujamin, itu pasti pacarku.

"Udah, tapi nggak ngefek," kataku, kemudian meneggak air dan menelan pil parasetamol.

"Kamu duduk aja, biar aku yang ngurusin. Yang mau ulang taun kan kamu," katanya sambil menuntunku untuk duduk.

Setelah entah berapa lama aku duduk, seorang perias datang menghampiriku. Sepertinya perias itu bukan seperti Pak Dono, guru BK yang resenya amit-amit itu, sehingga memperbolehkanku mandi, padahal sudah waktunya untuk dirias.

Aku mandi tidak terlalu cepat, namun juga tidak terlalu lambat. Sedang-sedang saja. Setelah itu, kugunakan gaun putih panjang, persis seperti yang kugunakan di malam Up All Night beberapa tahun lalu.

Entah dengan alat apa, yang pasti aku terlihat 100 kali lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Aku mematut-matutkan diri di kaca, kemudian tersenyum manis begitu mengingat bahwa aku pernah melakukan hal yang serupa beberapa tahun lalu.

Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Salah satunya adalah seniorku yang paling ganteng semasa SMA. Namanya memang Budi, tapi tampangnya menyaingi Tom Cruise. Paris Hilton pun mungkin akan klepek-klepek jika dipertemukan dengan seniorku yang satu ini.

Entah kenapa--kalau yang ini fakta--Budi pernah naksir aku di tahun terakhir SMA-nya. Dia bahkan pernah menembakku, dan aku menolaknya secara halus. Mungkin, itulah pertama kalinya dia ditolak wanita, sehingga dia tidak punya pacar hingga setahun setelahnya.

Aku turun ke ruangan sebagai seorang putri malam itu. Malam itu meriah sekali. Bahkan keluarga besarku pun datang. Ini mungkin berkat dari penjualan software-ku yang terus merambat naik pula. Gedung yang waktu itu disewa--yang kukira akan kelebihan ruang--malah ternyata pas sekali. Ramai, tetapi tetap kondusif.

Para sepupuku datang ke tempat itu, menyalamiku satu persatu. Mereka semua sudah tumbuh dewasa, dan banyak sekali tungkai tinggi dan langsing yang bisa kulihat.

"Ehem, yang ulang tahun ditemenin suami," ledek sepupuku, Jane, yang paling suka ceplas-ceplos.

"Belom, tapi doain aja," sahut Adam. Itu pastinya mengundang deheman palsu di sekitarku, dan Adam malah kelihatan sangat menikmati.

Lalu, salam-menyalam sampai ke generasi yang lebih tua. Para tante dan oom-ku. Aku punya seorang tante yang nyentrik. Ira namanya. Dia adalah seorang perancang busana top. Dandanannya disesuaikan dengan umur dan acara yang akan ditujunya. Rumahnya besar. Maklum, suaminya pejabat tinggi negara. Pokoknya, hidupnya sempurna. Orangnya juga asyik diajak bicara. Mungkin, karena pembawaannya yang santai itulah, banyak klien yang berminat dibuatkan baju olehnya.

"Whoaaaa, kamu udah besar banget. Seinget tante, kemaren kepala kamu masih kejeduk pinggir meja pas lari-lari sama anak tetangga," kata tanteku setelah bercipika-cipiki denganku. Aku membalasnya dengan senyum malu-malu. Ya, rasanya seperti baru kemarin saja...

Lalu tanteku melanjutkan jalannya dan bercipika-cipiki dengan Adam. Setelah itu, entah kenapa, tanteku menyentuh kedua pipi Adam dengan kedua telapak tangannya, lalu berkata, "Michael..."

"Michael?" tanyaku heran. Kulirik Adam, dan mukanya juga menunjukkan ekspresi kaget yang sulit dijelaskan.

"Kamu... Kamu anaknya Michael kan?" tanya tanteku lirih.

"I-iya, tante," jawab Adam terbata-bata.

"Nama ibumu pasti Lila, bukan?" tanya tanteku sekali lagi.

"I-iya, tante. Dari mana tante tau?" tanya Adam heran.

"Karena akulah ibu kandungmu. Kau berasal dari rahimku," jawab tanteku lirih, namun mengalahkan seluruh hiruk-pikuk.

Lalu, seluruh dunia menjadi gelap, sangat gelap, dan hitam pekat.

***

"Mike, bagaimana ini?" tanya seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman.

"Apanya yang bagaimana?" tanya si laki-laki yang sedang duduk di sebelahnya.

"Aku... Aku sudah berisi. Anakmu," katanya, pelan sekali agar tidak ada yang mendengar.

"Aku yang akan mengasuhnya. Dalam akta kelahirannya, dia akan menjadi anakku. Aku akan bertanggung jawab menjadi ayahnya," katanya setelah berpikir panjang dan lama.

"Tapi, kita bahkan belum menikah," jawab si perempuan tadi lirih dan panik.

"Tapi, aku sudah menikah dengan Lila. Kami tidak pernah saling mencintai, dan ibuku betul-betul menginginkan seorang cucu," jawab Michael akhirnya.

"Apakah Lila bersedia mengasuh anak yang bukan berasal dari rahimnya? Apalagi setelah mengetahui perselingkuhanmu," tanya si perempuan setelah menghela napas berkali-kali.

"Kami sudah berjanji satu sama lain, bahwa kami boleh mempunyai pacar masing-masing. Pernikahan itu hanyalah formalitas. Aku dan dia saja tidak pernah tidur seranjang," jawab Michael tenang.

"Baiklah. Aku harus bagaimana sekarang?" tanya si perempuan.

"Ira, kau harus menjaganya baik-baik. Soal mengelabui ibu dan memberitahu Lila, aku yang urus. Dia adalah tanda bahwa kita pernah saling mencintai, dan akan selalu," kata Michael.

"Siapa namanya?" tanya Ira.

"Adam. Adam adalah manusia pertama. Dia adalah manusia pertama kita berdua. Bagaimana menurutmu?" tanya Michael.

"Ya, aku suka nama itu. Lalu, kita tambahkan Wicaksono di belakangnya. Artinya bijaksana, karena kita telah berpikir bijaksana dengan tidak menyia-nyiakannya," balas Ira.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin