Pagi itu akhirnya tiba juga. Aku melempar selimutku sekenanya, kemudian segera bergegas menuju kamar mandi. Aku lalu mencari baju yang sedikit feminin, karena hari ini lain dari hari-hari lainnya. Hari ini adalah hari yang akan menentukan apa yang terjadi di seluruh sisa hidupku.
Aku menghirup napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Jakarta sudah begitu padat akan manusia di saat-saat seperti ini. Aku melihat asap yang membumbung tinggi di langit Jakarta, menyelimutinya dengan kepengapan yang mencekik. Aku betul-betul deg-degan sembari menunggu Adam yang tak kunjung datang.
Aku merasa cukup lega ketika akirnya aku melihat siluet mobilnya. Dia membukakan pintu mobilnya begitu aku akan masuk. Seketika itu pula, rasa perih menjalari seluruh dadaku. Semua kenangan manis itu menyembul liar di dalam otakku tanpa bisa kukendalikan.
Dia tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan sebuah senyum getir. Rasanya, mustahil sekali aku bisa tersenyum lepas seperti dulu lagi.
Aku menutup pintu mobilnya perlahan-lahan, lalu dia membuka pintu depan untuk duduk di kursi kemudi.
"Aku inget waktu kita jalan-jalan pagi makan bubur ayam di Kuningan. Inget, nggak?" tanyanya mencoba mencairkan suasana. Aku mengangguk memberikan jawaban. Ya, aku ingat. Aku tidak mungkin lupa. Kenangan itu baru saja melompat-lompat di ingatanku.
"Aku harap Tuhan memberikan kesempatan itu lagi untuk kita," katanya, diikuti dengan sebuah desahan panjang. Aku juga.
***
Memasuki rumah sakit membawa perasaan campur aduk bagiku. Aku sebetulnya benci dengan rumah sakit, tapi memori itu selalu berhasil membuatku bahagia. Memori di kala senja yang manis. Kenangan itu masih kuingat tanpa cela.
"Gimana hasilnya?" tanyaku saat ia baru keluar. Dia hanya mengedikkan bahunya tanda tak tahu. Aku bisa melihat harapan di dalam matanya. Aku bisa merasakan bahwa apa yang kurasakan sama dengan apa yang dirasakannya. Kami sama-sama cemas.
Dia mengambil tempat duduk di sebelahku, lalu mencari posisi yang tepat untuk duduk. Napasnya pelan dan tenang. Dia lalu menarik tanganku ke dalam genggamannya, dan aku bisa merasakan dinginnya jari-jemari yang sedang menggenggam tanganku. Jantungku berdetak lebih cepat dan tanpa irama.
Sebelah tangannya membuka amplop berwarna coklat tersebut, pelan namun terlihat penuh getaran. Dia menarik napas panjang dan dalam sebelum membacanya. Aku mengikutinya.
Kami membacanya dari atas, huruf per huruf, kata perkata, kalimat per kalimat. Sampai pada akhirnya, kami sampai pada sebuah kejelasan.
Dia, Adam Wicaksono, adalah anak Irama Sulastri.
Dia sepupuku.
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
RomantizmPilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...