Aku masih termangu tak percaya melihat kejadian tadi. Adam yang biasanya begitu beringas tiba-tiba berubah menjadi sesosok lelaki yang lemah. Ia mirip tikus kecil yang sudah tersudut dan hanya bisa mencicit. Ironis sekali bagaimana cara dunia ini bekerja. Aku tidak percaya ia bisa ditaklukkan dengan sebegitu mudahnya hanya dengan cinta. Yang mungkin palsu...
Kau tahu? Bagi angkatannya Adam, memacari bos geng ataupun kapten basket (biasanya, petinggi basket adalah bos geng juga) adalah sebuah kehormatan tertinggi bagi kaum hawa. Dan barangsiapa yang bisa memacari anggota cheers, maka dialah raja dari segala raja. Ia seperti sudah memiliki kesempurnaan sebagai seorang lelaki: harta, tahta, dan wanita. Tidak ada yang berani mengganggu. Alam seolah-olah berkata padanya bahwa dunia dan seisinya ini miliknya.
Mereka mengorbankan kebahagiaan demi gengsi, kehormatan, dan prestise. Dan Adam terperangkap di dalam keyakinan itu. Aku jamin, aku bisa gila jika aku menjadi dirinya.
Seperti yang sudah kuduga, Adam datang ke tempatku duduk dengan memasang tampang beringas seperti biasanya. Bukannya takut, aku malah mati-matian menahan tawa melihat muka hasil rekayasanya itu. Jauh lebih mati-matian daripada saat pertama kali aku menyaksikan Adam mengangkat telepon dari pacarnya.
"Ngapain lo liat-liat?!" tanyanya garang saat memergokiku sedang melihat ke arahnya.
"Ge-er banget, lo! Orang gue ngeliat itu!" kataku mengelak, sambil menunjuk ke arah sebuah iklan permen. Papan reklame itu memang sungguh menarik. Lagi-lagi, aku berhasil mengalahkannya. Ralat, mempermalukannya.
Sejak awal, aku sudah tahu jika dia itu laki-laki tangguh. Dia tidak mungkin akan terima dipermalukan begitu saja.
"Gue udah sering ngebaca mata orang. Gimanapun juga, lo itu ngeliatin gue. Lo kira gue se-tolol apa sampe nggak bisa ngebedain mana yang lo liat dan mana yang nggak lo liat?" tanyanya kasar.
"Se-tolol yang pernah lo pikirin," kataku enteng. Darahnya mendidih juga. Ia bolak-balik mengambil napas panjang, mengatur emosinya yang pasti sedang meletup-letup di dalam sana. Matanya makin nyalang saja. Berbeda sekali saat ia berjalan mengekori Charlotte.
Dia sepertinya sudah tidak tahan lagi. Dia mengayunkan tangannya ke udara. Aku baru merasakan "detik-detik akan dipukul oleh seorang bos geng". Tiba-tiba saja tangannya terhenti, lalu ia bergumam, "Nggak, kamu itu cewek. Aku nggak boleh maen tangan ama cewek."
Itu adalah kali pertama aku menemukan sosok gentleman yang sebenarnya...
***
Ran akhirnya keluar juga dari kelas. Aku cukup lega, karena itu artinya, aku tidak harus menunggu di atas pagar besi yang sangat menyiksa bagian bawah tubuhku. Aku melompat dengan cepat ke tempat dimana Ran sedang berjalan ke arahku, dan kami langsung berjalan beriringan menuju halte bus.
Adam sudah pergi dari tadi, sejak ia menolak untuk memukulku. Ia langsung pergi begitu saja dengan bahu melorot. Entah kenapa, aku merasa bersalah kepada si bengal itu. Ralat, ia tidak hanya bengal, tapi juga gentleman.
Aku ingat tangannya saat akan memukulku. Tangannya penuh luka. Aku tidak percaya bahwa ia masih sering terserempet benda tajam, padahal ia sudah lama bergelut di dunia bacok-membacok. Tapi, siapa peduli?
Hujan rintik-rintik membuyarkan lamunanku tentang Kamga waktu itu. Seorang penjual jagung bakar berjalan di depan kami. Jagung bakar itu kelihatan menggoda sekali. Aku segera menarik selembar uang lima ribuan dari saku rokku. Tanpa pikir panjang, aku juga mentraktir Ran yang kelihatannya sudah mulai menggigil.
Kami makan jagung bakar sambil menunggu bus. Tak lama kemudian, bus yang ditunggu Ran datang juga. Kami mengucapkan selamat berpisah, kemudian aku segera mengambil buku Radikus Makankakus dari tas-ku, melanjutkan bacaanku saat aku masih di atas pagar besi. Huh, Adam mengganggu jadwal membacaku sekali!
Bus berwarna hijau yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan gerakan secepat kilat, kunaiki tangga menuju bus. Aku segera meletakkan tas-ku di bangku samping yang kebetulan kosong, lalu melanjutkan bacaanku.
Aku turun satu halte sebelum halte rumahku, karena aku harus mampir ke supermarket dan membeli beberapa barang titipan ibuku. Kurogoh sakuku untuk membayar. Tunggu... Mana uangnya?!?! Sial! Uang dua ratus ribu lenyap begitu saja?!?! Oh, Tuhan, tolong bikin mood ibuku baik hari ini, jadi aku tidak perlu mencuci piring...
Kulihat sesosok bayangan hitam berlari mendekat ke arahku. Larinya cepat sekali. Mungkin, jika aku mengendarai sepeda, aku akan kalah jauh dibandingkan dengannya. Dan itu Adam!
"Ngapain lo lari-lari? Nge-fans ama gue, ya?" tanyaku heran padanya.
"Makasih, kek, apa, kek. Malah diomelin," balasnya sambil merengut.
"Buat apa gue bilang makasih ama elo?" tanyaku makin heran.
"Duit elo kan?" tanyanya sambil menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan. Aku hampir tidak percaya saat dia menyerahkan uang dua ratus ribu itu padaku.
"Lo... Nggak ngambil duitnya?" tanyaku ragu. Anak dengan reputasi brengsek tingkat tinggi seperti dia rasanya sangat mustahil untuk mengembalikan uang yang cukup besar kepada pemiliknya.
Dia hanya melirik sinis kepadaku, kemudian meninggalkanku pergi tanpa sepatah kata pun. Percayalah padaku, aku merasa amat bersalah padanya...
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
Любовные романыPilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...