Bab 30: Mimpi

495 11 0
                                    

Kedua mataku pernah melihat dunia ini sebagai dunia yang adil. Dunia yang penuh dengan warna. Dunia yang selalu ceria. Dunia yang selalu menyambutku dengan tawa.

Aku selalu melewati hariku dengan penuh canda. Merasakan bahwa akulah yang memiliki dunia dan seisinya. Menebarkan senyum di setap jengkal tanah yang kujejak. Merasakan bahwa angin selalu berdesir untuk membelaiku. Duniaku sempurna.

Kedua telingaku pernah mendengar suara dunia sebagai suara yang merdu. Teriakan semangat yang menggelora. Pekikan tinggi yang membahana. Sahutan-sahutan ceria yang menggema. Kicau-kicau burung yang memesona dalah nada dasarnya.

Syaraf-syarafku pernah merasakan dunia ini sebagai dunia yang lembut. Dunia yang selalu membuai. Dunia yang selalu membius. Dunia yang selalu memeluk.

Aku ingat sekali malam yang merenggut semuanya dariku. Malam terburuk dari semua malam-malamku. Malam ketika aku menyadari bahwa bulan berada di bawah kakiku, dan aspal berada di atas ubun-ubunku. Langit malamku bukan berwarna biru gemerlapan, melainkan merah pekat yang membunuh.

Malam itulah malam ketika kelima indraku berevolusi. Mataku hanya dapat menatap hitam yang pekat. Telingaku hanya mendengar kebisuan yang tak berujung. Syarafku hanya dapat merasakan kehampaan yang abadi. Lengkung manis yang dulu selalu tergambar manis, kini hanya tinggal kenangan using. Dunia tak lagi berpihak padaku.

Ini bukan lagi dunia yang kukenal. Dunia yang menyajikan bau harum dan warna emas. Ini bukan lagi hidup yang kukenal. Hidup yang selalu meneteskan kebahagiaan dan kegembiraan. Ini bukan lagi suasana yang kukenal. Suasana yang selalu melampirkan kemewahan dan kebahagiaan.

***

Aku bangun dengan napas terengah-engah pagi itu. Mimpi ini sudah dua kali terjadi, dan selalu berhasil membuatku persis seperti orang yang terkena demam tinggi. Aku menyentuh dadaku yang berdebar-debar keras. Apa-apaan itu?

Aku langsung melompat turun dari kasurku, menjejak sandal rumah yang sudah ada di situ. Aku melihat kota Jakarta melalui celah korden yang terbuka sedikit. Sama seperti biasanya: macet dan bising. Aku menarik handuk, lalu melesat ke dalam kamar mandi begitu melihat jam dan mengingat bahwa pagi ini aku ada kuliah pagi.

Waktu rasanya berjalan cepat sekali. Rasanya, kemarin aku masih bertengkar dengan Adam di pagar besi belakang sekolah, merecokinya sampai dia naik pitam, dan sok tegar saat membaca novel romantis yang sendu. Sekarang, aku sudah menjadi seorang mahasiswi yang hampir tak punya waktu untuk nongkrong sesantai itu. Aku kadang bingung, kenapa waktu bisa berlari meninggalkanku cepat sekali.

Aku segera keluar dari kamar mandi begitu mengetahui bahwa waktu makin mencekik. Aku paling malas kalau harus terlambat datang pada jam dosen satu ini. Anak yang terlambat biasanya akan diceramahi sampai kakinya pegal-pegal, menulis 100 baris perjanjian seperti anak SD, dan harus mau berjoget di depan kelas. Padahal, para senior-ku pun tidak sebegitu jahilnya.

Ini tahun pertama-ku, jadi, semua orang kupanggil senior. Aku paling benci di OSPEK. Maka, pada hari saat aku di OSPEK, aku malah mengerjai para senior sampai muka mereka merah padam karena menahan marah sekaligus tawa. Marah karena merasa gagal mengerjai sang junior, sekaligus mengulum tawa karena melihat teman mereka yang berhasil dibuat bertindak konyol. Masalahnya, yang waktu itu kukerjai adalah salah satu gangster yang paling beringas dan ditakuti. Karena dandanannya yang ajaib itulah, kupikir dia hanya bermain-main dengan perannya. Eh, ternyata dia memang benar begitu.

Setelah itu, aku disuruh membuat surat permintaan maaf, dan aku malah mengerjai seorang senior lagi. Pada akhirnya, OSPEK tahun itu sukses mempermalukan para senior karena ulahku. Akibatnya, sekarang tidak ada yang berani menjahiliku sedikit pun. Apalagi ketika Adam dengan--ehem--badannya yang, yah... Mampir ke sekolahku untuk menjemputku. Bisa dijamin, para lelaki cemburu, perempuan histeris, dosen geleng-geleng kepala, dan para senior tunduk hormat.

Aku cepat-cepat menyabet baju apapun yang terdekat, sedikit memadu-madankan, lalu melesat dengan sepatu Converse kesayanganku.

***

Aku sampai di kampusku tak lama kemudian. Aku langsung melambai ke arah trio ajaib--begitulah panggilanku untuk geng-ku--dan berlari ke arah mereka.

"Guess what?" tanyaku sambil masih memegangi novel yang sembarangan kucabut dari rak bukuku.

"Wha?" tanya Helen sambil tetap menatap pada layar ponselnya.

"Guess who's birthday is coming?" tanyaku pada mereka.

"So what will you do? Party? Oh, yay. Gimme the dress code. I can be the EO too. Where?" tanya Tria tidak mau kalah.

"Gue baru mau ngejelasin ituuuuu. Mulut lo merepet mulu. Denger, gue mau bikin party yang seru, dan ntar gue kasih tau detilnya ke elo-elo semua. Bantuin, ato lo nggak bakalan dapet jatah makan disana!" ancamku main-main.

"Idih, ibu tiri galak!" ledek Pinkan sambil menabok bokongku.

"Jangan tabok. Mau gue tabok bales?" tanyaku sambil mengayunkan kaki kananku yang sudah terlatih di dojo Tae Kwon Do saat aku masih SMA dulu. Tentu saja dia langsung berlari terbirit-birit dengan arah zig-zag. Kalau tidak, mungkin dia sudah kusambit menggunakan sepatu Converse-ku. Hahahaha, bercanda....

Yang pasti, aku tidak akan pernah melupakan orang itu. Aku mengambil ponselku, mengetikkan kata sandi, dan meng-SMS kekasihku. Adam Wicaksono.

Setelah itu, kulihat Tria sudah berlari-lari kecil menuju kelas, dan aku sudah tidak punya banyak waktu lagi, jadi aku mengetikkan balasannya dengan singkatan yang mungkin bisa membuat sakit jiwa.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin