Bab 39: Memori Buram

485 9 5
                                    

Aku duduk di kursi pantry, meregangkan kakiku yang terasa pegal setelah menginjak pedal gas secara terus-menerus saat berangkat tadi. Jam masih menujukkan pukul 7 pagi. Bahkan saat SD pun, aku tidak pernah segiat ini. Sebetulnya pernah, tapi hanya pada minggu pertama kelas satu saja.

"Mau minum apa, mbak?" tanya Bambang, OB yang bertugas di situ.

"Kopi, kayak biasa," jawabku dengan segaris senyum tipis. Tangannya yang kurus mulai menyeduh bubuk kopi dan menambahkan creamer ke kopi yang akan kuminum. Tepat dua sendok, tidak lebih dan tidak kurang. Dia lalu memberikannya dengan bungkukan hormat, lalu kembali pada kesibukannya.

Aku menghirup semerbak kopi yang mengudara. Dunia di sekelilingku mendadak menghilang, dan aku berada di sebuah tempat yang sangat nyaman. Bibirku menempel di bibir cangkir, kemudian mulai menyeruput kopi dengan khidmat, hingga hanya tinggal tersisa ampas di dasar cangkirnya.

"Ai, lo di panggil si bos cakep, tuh," kata Trudy yang tiba-tiba muncul di pintu pantry. Dia memang hebat dalam hal mengageti orang.

"Maksud lo Pak Angga?" tanyaku bersungut-sungut karena jadwal minum kopi pagi hariku terganggu.

"Emang siapa lagi sih, bos di kantor ini yang cakep?" tanyanya. Dia menarik kursi dan duduk di seberangku. Aku lalu beranjak pergi meningggalkan pantry.

***

Sepertinya, aku adalah orang terakhir yang memasuki ruangan itu. Pak Angga, orang yang mengadakan rapat ini duduk di seberang meja. Sekretarisnya, Bu Dhila, sedang mengurusi kertas-kertas putih yang entah apa isinya. Aku sendiri memilih untuk berdiri, karena malas duduk di dekat Pak Bowo yang nanti pasti akan meletup-letup tidak setuju. Dia sepertinya punya dendam kesumat pada Pak Angga.

Aku langsung melengos mencari tempat lain begitu melihat Venny dengan stiletto hitamnya sedang bersandar  pada tembok, dengan pandangan terpaku pada sosok si bos ganteng. Pak Angga memang rupawan. Mukanya jantan dengan sentuhan usia muda yang masih kentara. Muka jantannya mirip dengan cinta pertamaku, Emile. Umurnya baru menginjak usia 24 tahun. Alasan mengapa dia berhasil menduduki posisinya saat ini dikarenakan strategi pemasaran hasil pemikirannya, yang juga membuatnya dijuluki sebagai "the prodigy" oleh banyak orang.

Keunggulannya dilengkapi dengan status sekretarisnya yang janda dengan tiga anak dan sudah kepala empat. Sekretarisnya lebih pantas menjadi tantenya daripada menjadi kekasihnya. Sedangkan masalah kekasih, dia masih belum ada yang punya. Kekasihnya meninggal 3 tahun yang lalu, dan sejak saat itu, dia belum pernah berkencan dengan perempuan manapun (kata Trudy, karena dia kan udah lebih tuwir di kantor ini daripada gue).

Karena keunggulannnya, lebih dari selusin orang yang tergila-gila padanya. Aku tidak pernah bermasalah dengan para pemuja Pak Angga, kecuali Venny (karena dia cemburu buta). Maksudku kan--hey--aku sudah miliknya Rene, dan aku tidak memiliki ketertarikan apapun pada Pak Angga. Begitu aku masuk ke ruangannya Pak Angga, langsung diteror dengan berbagai cara oleh Venny. Ya ampun, jadi pacarnya saja belum. -_-"

Aku selama ini jarang bermasalah dengan orang, karena aku bukan orang yang tukang cari perkara. Aku juga bukan orang yang sedikit-sedikit membenci--setidaknya, aku sudah belajar dari pengalaman dengan Freya untuk tidak bersikap sentimen. Intinya, selama dia tidak merugikanku, aku akan bersikap baik padanya.

"Ai, ada ide?"

Hah?

"Adelaine Roose, ada ide?"

Oh, Tuhan. Ide apa? Gawat, aku melamun terus.

"Tidak ada?"

"Umm, ada!" seruku spontan. Gawat, aku kelepasan.

"Silakan," balas Pak Angga. Matilah aku, asal bunyi sajalah.

"Ummm, kita kan sedang membangun sebuah media sosial, gimana kalo kita bikin dunia avatar. Maksudnya, kita bikin profile page-nya menjadi sebuah rumah. User yang menentukan sendiri desain dan avatarnya. Tapi dia bisa menggerakkan avatarnya dan berbicara melalui balon kata dengan user lain. Kita juga bisa memasukkan unsur transaksi seperti ebay, dan melakukan kontrak dengan PayPal. Ditambah dengan private mail dan wall dengan cara menekan tombol khusus. Jadi, kita menggabungkan ebay dengan Twitter, Facebook, dan game fashion story*," kataku panjang lebar.

Tamat, aku ngawur sepenuhnya. Rasanya lebih buruk daripada saat aku menjawab asal pertanyaan uraian tentang arti hidup rukun saat masih di kelas 1 SD.

"Wow, ide paling hebat pagi ini. Kamu bisa bikinnya?" tanya Pak Angga setelah rentetan tepuk tangan berhenti.

Aku kena batunya, harus mengerjakan rancangan aneh yang kubuat dalam waktu 10 detik tadi. Mau tidak mau, aku mengangguk.

"Tapi, saya butuh beberapa bantuan," kataku sebagai tambahan.

"Asal bukan bantuan rumah 5 miliar, kami bisa membantu," gurau si bos ganteng.

Tuhan, ampuni aku karena sudah melamun di saat yang tidak tepat...

***

"Ai, kemaren gue ketemu sama cowok di Facebook, namanya Emile. Riwayatnya persis sama yang lo bilangin dulu," katanya sambil menyeruput milkshake di tangannya.

Aku bagaikan tersengat listrik 2000 volt. "Ah masa? Boong lu!" kataku sambil mengguncang-guncang bahu rampingnya.

"Cieee, yang bakalan ketemu sama cinta pertamanya..." goda Trudy.

"Nama panjangnya siapa?"

"Emile Handoko kan?" tanyanya balik.

"Iya! Terus, terus?" tanyaku memburu.

"Gue mau ketemuan ama dia," jawabnya santai.

"Kapan?" tanyaku makin kehilangan kesabaran.

"Malem ini, mau ikut?" tanyanya.

"Kencan kalian berdua?" tanyaku agak kecewa.

"Nggak, ketemuan doang," jawabnya sambil nyengir kuda.

"Gue ikut! Udah, ya, ada kelas, nih!" kataku sambil menepuk pundaknya, kemudian segara beranjak pergi mengingat waktu yang makin sempit.

Aku akan bertemu dengannya nanti malam: cinta pertamaku.

***

Hari itu tanggal 19 Mei, 12 tahun lalu. Seorang bocah perempuan dengan rambut sebahu yang diikat asal-asalan ikut berkerumun bersama orang-orang yang rata-rata ukuran tubuhnya 2 kali besar tubuhnya. Dengan kaki kecilnya, dia mencoba mengurai kerumunan yang menyeruak. Tapi kerumunan itu terlalu sulit untuk ditembus. Napasnya semakin lama semakin sesak, dan akhirnya tinggal satu-dua. Lalu, entah dari surga atau dari mana, sebuah tangan menariknya keluar, membawanya kembali ke dunia.

"Nih, buat kamu," kata anak laki-laki dengan baju biru dan celana hitam selutut.

"Komik detektif Conan edisi 12! Terus, kakak komiknya mana?" tanya bocah kecil tadi sambil menatap komik impiannya.

"Ah, gampang. Entar bisa ngambil lagi," katanya sambil menunjuk ke arah kerumunan yang semakin padat.

"Makasih ya, Kak," ucap gadis kecil itu. Kepalanya tertunduk di bawah sinar kuning mentari. Tapi bibirnya menyunggingkan sebuah senyum, dan jantungnya terasa berlompatan. Gadis itu jatuh cinta.

Gadis itu adalah aku 12 tahun yang lalu, dan laki-laki itu adalah Emile, cinta pertamaku.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin