Bab 17: Selaput Emas

559 12 0
                                    

Sore ini, sepulang sekolah, Ran bimbel lagi seperti biasa. Lagi-lagi, aku juga harus berhadapan dengan makhluk bengal dan sinting bernama Adam Wicaksono itu. Setiap kali aku memandangnya, aku selalu ingat kemarin. Saat ia menangis seperti sebuah boneka usang yang telah dicampakkan oleh tuannya.

Seberapapun tebal kepulan asap rokoknya, aku masih tetap tidak bisa menyelimuti pemandangan kemarin sore. Dia masih duduk dengan tenang di pagar itu. Sebetulnya, aku malas juga harus berbagi tempat dengannya di pagar itu. Sayangnya, aku bukan anak konglomerat yang bisa membuat sekolahku sendiri, berhak atas seluruh tanah, bangunan, dan fasilitas sekolahku. Jadi, mau tidak mau, aku terkena kepulan asap rokoknya juga.

Entah Tuhan sedang berbaik hati padaku atau apapun, Kamga tiba-tiba saja berjalan di depanku. Sayangnya, ia tidak melihatku. Tapi, setidaknya, itu cukup untuk membuatku menganalisa bau asap rokok menjadi bau wewangian surga.

Dia betul-betul malaikat. Malaikat penjaga pintu surga, yang setiap hari terpapar keindahan surga, sehingga perangai dan fisiknya pun sangat baik. Berbeda sekali dengan Adam. Kujamin, dia adalah malaikat pencabut nyawa. Bukan berarti aku menganggap malaikat pencabut nyawa adalah malaikat yang jelek atau apa, tapi, pekerjaannya yang terlalu horror itulah yang menyebabkanku menjuluki Adam seperti dirinya.

Gerakan itu terasa seperti slow motion. Kakinya yang indah itu menginjak tanah (yang tiba-tiba terlihat seperti karpet merah) dengan sempurna. Jantungku jumpalitan kesana-kemari hanya dengan melihatnya.

Napasku tiba-tiba saja menjadi sulit untuk dipompa. Aku begitu gugup bahkan hanya dengan melihatnya. Aku pasti sudah jatuh cinta. Akut!

Dia berbelok ke kiri, menghilang di balik tumpukan semak di dekat sekolahku. Bau Aigner masih tercium, dan aku merasa bahwa pembuat parfum Aigner adalah orang paling jenius yang pernah kuketahui, karena dia berhasil membuat bau rokok paling membuat muntah menjadi bau yang meletup-letupkan feromon-ku hingga mendidih.

Adam hanya memandangiku dengan heran sambil terus menyesap rokoknya. Aku tahu bahwa ia sungguh jahil dan selalu asbun (asal bunyi). Tetapi,--entah Tuhan mengirimkan mukjizat atau apapun itu--ia berhasil melontarkan sebuah kalimat paling tepat yang pernah kudengar: "Lo naksir berat ya, sama Kamga?"

Rasanya, aku ingin sekali menggigit pipinya. Ia sepertinya tidak suka sekali ketika melihat orang senang. "Bukan urusan lo," jawabku dingin.

Dia memang berbakat sekali menjadi reporter gosip. Dia masih menembakkan puluhan pertanyaan kepadaku. Aku rasanya ingin menjejalkan semua pertanyaan itu kembali ke mulutnya, masuk ke ususnya, kemudian berkata, "Iya, Adam Wicaksono maniak gosip! Makan tuh semua pertanyaan lo!"

Untungnya aku terlalu jijik untuk memasukkan apapun ke dalam mulut yang baru saja dipakai untuk merokok, sehingga aku mengurungkan niatku. Aku menjadi kesal sendiri begitu mengetahui posisiku sebagai orang yang sedang menunggui Ran. Aku tidak bisa kabur begitu saja dari berandal yang bernama Adam Wicaksono ini.

Tapi, kali ini, aku sudah tidak bisa menahan emosiku lagi. Kutinggalkan dia sendirian di situ. Lebih baik aku mengungsi di tempat lain saja, daripada aku gila karenanya.

Aku menyenandungkan lagu I Love It-nya Icona Pop sambil menikmati sore yang indah (kecuali tentang si brengsek Adam). Aku belum pernah menikmati sore seindah ini sejak aku mengenal Adam. Pengganggu kesenangan sekali! Kakiku mulai menendang-nendang udara di sekitarku, tanganku mulai bergerak-gerak, tanganku mulai kujentikkan, dan aku makin menggila dengan musikku.

Dan mataku menatap sesuatu...

Adam sama seperti sore itu. Menangis.

Awalnya, aku tidak acuh, dan melanjutkan senandungku. Namun lama-lama, aku tidak tahan juga. Sebagai seorang perempuan berhati malaikat--eh, ralat--yang mudah tersentuh, aku akhirnya memutuskan untuk turun dan menghampirinya.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin